Ikan Kecil dan Air (Sebuah renungan tentang kebahagiaan)


Suatu hari seorang ayah dan anaknya sedang duduk dan berbincang-bincang di tepi sungai. Kata ayah kepada anaknya, "lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati".

Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil mendengarkan percakapan itu dari bawah permukaan air, ia mendadak gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini.





Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada setiap ikan yang ia temui, "Hai tahukah kamu dimana air? Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati".

Ternyata semua ikan tidak mengetahui dimana air itu. Ikan kecil semakin gelisah, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang penuh dengan pengalaman. Kepada ikan sepuh itu ikan kecil menanyakan hal serupa, "Di manakah air?"

Jawab ikan sepuh, "Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu sendiri bahkan tidak menyadari kehadirannya. Memang benar tanpa air kita akan mati".

Kehidupan dan kebahagiaan ada di skeliling kita dan sedang kita jalani sepanjang kita mau membuka diri dan pikiran kita, karena SAAT UNTUK BERBAHAGIA ADALAH SAAT INI, SAAT UNTUK BERBAHAGIA DAPAT KITA TENTUKAN.

Makna dari cerita di atas:
Manusia kadang-kadang mengalami situasi seperti si ikan kecil, mencari kesana-kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan. Padahal ia sedang menjalaninya, bahkan kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai dia tidak menyadarinya.
Read More..

Nice Words from WS Rendra


Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa
sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan
padaku?

Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta
kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan
Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya
yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah...
"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama
saja"

(WS Rendra)
Read More..

Maafkan Saya… (Kisah Seorang Polantas)


Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Alex segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup padat, sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama. Kebetulan jalan di depannya agak lengang. Lampu berganti kuning. Hati Alex berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter menjelang garis jalan, lampu merah menyala.Alex bimbang, haruskah ia berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Priiiiit……..!

Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya berhenti. Alex menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Sobari, teman mainnya semasa SMA dulu.
Hati Alex agak lega.
Ia melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.
“Hai, Sob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”
“Hai, Lex.” Tanpa senyum.
“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri saya sedang menunggu di rumah.”
“Oh ya?”
Tampaknya Sobari agak ragu. Nah, bagus kalau begitu.

“Sob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”

Oooo, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Alex harus ganti strategi.





“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah. Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.”

Aha, terkadang berdusta sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Lex. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM-mu.”

Dengan ketus Alex menyerahkan SIM, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya. Sementara Sobari menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Sobari mengetuk kaca jendela. Alex memandangi wajah Sobari dengan penuh kecewa.Dibukanya kaca jendela itu sedikit.
Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Sobari kembali ke posnya. Alex mengambil surat tilang yang diselipkan Sobari di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Alex membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Sobari.

“Halo Alex, Tahukah kamu Lex, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, ia sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah. Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 tahun. Begitu bebas, ia bisa bertemu dan memeluk anak-anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk. Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu juga kali ini. Maafkan aku Lex. Doakan agar permohonan kami terkabulkan. Berhati-hatilah. (Salam, Sobari)”.

Alex terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Sobari. Namun, Sobari sudah meninggalkan pos jaganya entah ke mana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati tak menentu sambil berharap kesalahannya dimaafkan… ….

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga, jalanilah dengan penuh hati-hati.
Read More..