Kekuatan 'Istighfar"

Cerita tentang "Istighfar" dan juga sebuah kisah dari kehidupan Imam Ahmad Bin Hanbal, seorang ulama Islam dan salah seorang teolog yang ternama dalam sejarah Islam. Imam Ahmad juga dianggap sebagai pendiri mazhab Hanbali dan dianggap sebagai salah satu teolog Sunni paling terkenal, sering disebut sebagai "Sheikh ul-Islam" atau "Imam Ahl al-Sunnah. "


Berikut salah satu kisah yang dialaminya...

Selama masa tuanya, suatu ketika Imam Ahmad bepergian dan ia berhenti disebuah kota. Setelah shalat, dia ingin tinggal untuk bermalam di halaman masjid karena ia tidak kenal dan tahu siapa pun di kota tersebut. Karena kerendahan hatinya, dia tidak memperkenalkan diri kepada siapapun, padahal jika ia melakukannya, maka ia akan disambut oleh banyak orang.

Merasa tidak mengenali Ahmad bin Hanbal, pengurus masjid menolak untuk membiarkan dia tinggal dan bermalam di masjid. Setelah beberapa lama, Imam Ahmad merasa bahwa ia tidak mungkin menginap di masjid tersebut. Maka keluarlah ia dari masjid dan tidak tahu harus menginap di mana malam itu. Dalam kebingungannya itu seorang tukang roti melihatnya dan karena merasa kasihan maka tukang roti tersebut menawarkan untuk bermalam di rumahnya dan menjadi tuan rumah bagi dia untuk beberapa malam.

Selama tinggal dengan tukang roti, Imam Ahmad mengamati bahwa tukang roti terus membaca dan me-lafaz-kan Istighfar (mencari pengampunan dari Allah) secara teratur. Dalam percakapannya dengan tukang roti tersebut Imam Ahmaed mengatakan bahwa jika amalan Istighfar yang dilakukan konstan tersebut akan efek pada dirinya, doa-doanya akan dikabulkan.

Tukang roti tersebut menanggapi dengan mengatakan pada Imam Ahmad bahwa Allah telah menerima semua doanya, semua permohonannya, kecuali satu.

Ketika Imam Ahmad bertanya apa doa yang belum dikabulkannya itu, tukang roti menjawab bahwa ia telah meminta Allah untuk dapat bertemu dengan seorang guru yang terkenal, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.

Tentang hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Allah tidak hanya mendengarkan doa tukang roti tersebut, bahkan Allah telah membawa Imam Ahmad bin Hanbal ke depan pintu rumah tukang roti.

Subhanallah...

[Diringkas dari majalah Al Jumuah, vol 19, edisi 7]

Cerita ini menjadi pengingat kekuatan Istighfar yang dilakukan secara konsisten

Read More..

Pilihan Aliya

Sembilan tahun lalu, saya berdansa bersama putri saya yang baru lahir di ruang tamu saya di North Carolina mengikuti music Free to Be… You and Me, sebuah lagu anak klasik tahun 70-an yang lirik penuh pesan toleransi dan kesetaraan jendernya saya hapal betul karena tumbuh besar di California.

Suami saya yang kelahiran Libya, Ismail, duduk bersamanya selama berjam-jam di teras berkawat nyamuk kami, mengayunnya di atas sebuah ayunan besi berkeriat-keriut dan menyanyikannya lagu-lagu rakyat Arab, lalu membawanya ke seorang syekh Muslim yang membacakan doa panjang umur ke telinga kecilnya yang lembut.


Ia memiliki mata gelap dan bulu mata hitam seperti ayahnya, dan kulit coklatnya cepat sekali menjadi semakin gelap di bawah terik matahari musim panas. Kami menamainya Aliya, yang bermakna ‘dimuliakan’ dalam bahasa Arab, dan sepakat akan membiarkannya memilih yang paling cocok di antara latar belakang kami yang sangat berbeda.

Diam-diam saya berpuas diri atas kesepakatan ini – yakin putri saya akan cenderung mengikuti gaya hidup Amerika saya yang nyaman dibandingkan asuhan ayahnya yang sederhana. Orangtua Ismail tinggal di sebuah batu kecil di gang-gang tanah berliku di luar Tripoli, Libya. Tembok-temboknya kosong, hanya berhiaskan ayat Qur’an yang dipahat ke kayu; lantainya kosong, hanya ada alas duduk tipis yang juga digunakan sebagai alas tidur.

Orangtua saya tinggal di sebuah rumah megah di Santa Fe, New Mexico, lengkap dengan garasi berkapasitas tiga mobil, televisi layar datar dengan ratusan saluran, makanan organik di kulkas, dan selemari penuh mainan untuk para cucu.





Saya membayangkan Aliya akan berbelanja ke Whole Foods dan mempersiapkan tumpukan hadiah di bawah pohon Natal, sambil tetap menikmati melodi Arab, baklava berlumur madu buatan tangan Ismail, dan tato henna rumit yang digambarkan tantenya di kaki saat kami mengunjungi Libya. Tidak sekalipun saya pernah membayangkan ia jatuh hati pada penutup kepala yang dikenakan para gadis Muslim sebagai ekspresi kesantunan.

Musim panas lalu, kami sedang merayakan berakhirnya Ramadhan bersama komunitas Muslim di sebuah festival yang diadakan di tempat parkir mobil masjid setempat. Anak-anak melompat-lompat di dalam rumah balon, sementara para orangtua duduk di bawah lindungan terpal, sambil mengusir lalat dari berpiring-piring ayam kari, nasi, dan baklava.

Saya dan Aliya berjalan-jalan melewati berbagai penjual sajadah, tato henna, dan busana Muslim. Saat mencapai sebuah meja yang memajang penutup kepala, Aliya berbalik ke arah saya dan memohon, ‘Bu, saya boleh beli satu ya?’ Ia memilih-milih di antara tumpukan kerudung yang terlipat rapi sementara penjualnya, seorang wanita Afrika-Amerika berbalut busana hitam, berseri-seri memandang Aliya.

Baru-baru ini saya melihat Aliya melemparkan tatapan kagum pada gadis-gadis Muslim seusianya. Diam-diam saya mengasihani mereka, yang terbungkus rok yang menyapu lantai dan lengan panjang, bahkan pada hari-hari terpanas. Kenangan masa kecil terbaik saya adalah saat berjemur di bawah matahari: merasakan rerumputan di antara jemari saat berlarian di bawah siraman air di halaman depan; mencelupkan kaki di sungai yang dingin di Idaho, celana pendek tergulung hingga paha, untuk menangkap ikan forel pelangi pertama saya; berselancar di atas ombak hijau di tepi pantai Hawaii. Namun Aliya justru iri pada gadis-gadis ini dan sudah meminta saya membelikannya pakaian seperti mereka. Dan kini, ia meminta selembar kerudung.

Sebelumnya, saya akan beralasan sulit mencari kerudung, tetapi kini ia mengatakan akan membelanjakan uang saku $10-nya untuk membeli selembar kain rayon hijau tua yang ia genggam. Saya sudah mulai menggelengkan kepala, tetapi kemudian menghentikan diri dan mengingat komitmen saya pada Ismail. Jadi saya menahan diri dan membelinya, seraya berpikir ia akan segera melupakan kain tersebut.

Siang itu, saat saya akan berangkat ke supermarket, Aliya berseru dari dalam kamar mengatakan bahwa ia ingin ikut.

Beberapa saat kemudian ia muncul di puncak tangga – atau, lebih tepatnya, setengah dirinya muncul di puncak tangga. Dari pinggang ke bawah, ia adalah putri saya: sepatu kets, kaus kaki terang, celana jins yang agak belel di bagian lutut. Namun dari pinggang ke atas, ia adalah orang asing.

Wajah bulat cerahnya muncul di antara kain gelap seperti bulan di langit tanpa bintang.

‘Kamu mau pakai itu?’

‘Iya,’ sahutnya perlahan, dengan nada yang mulai ia gunakan terhadap saya belakangan ini.

Dalam perjalanan ke supermarket, saya mencuri pandang ke arahnya melalui spion tengah. Ia memandang ke luar jendela, tampak sibuk dengan pikirannya sendiri dan tidak peduli dengan sekitarnya, seakan ia adalah seorang pembesar Muslim yang sedang mengunjungi kota kecil kami di bagian Selatan – saya hanyalah supirnya.

Saya menggigit bibir. Saya ingin memintanya melepaskan penutup kepalanya sebelum keluar dari mobil, tetapi tidak bisa menemukan satupun alasan mengapa, kecuali bahwa kain tersebut membuat tekanan darah saya naik. Saya selalu mendorongnya untuk mengekspresikan individualitasnya dan bertahan dari tekanan pergaulan, tetapi kini saya merasa sama minder dan sesaknya seakan sayalah yang mengenakan kerudung tersebut.

Di tempat parkir supermarket, udara musim panas yang pekat menyergap kulit saya. Saya mengekor kuda rambut lembab saya, tetapi Aliya tampak tidak sadar akan panasnya. Kami pasti terlihat seperti aneh berdua: wanita tinggi berambut pirang dalam balutan baju kutung dan jins menggenggam tangan seorang Muslim setinggi 1,2 m. Saya menarik putri saya mendekat dan kulit di lengan telanjang saya merinding – baik karena rasa protektif juga hantaman utara berpendingin saat memasuki toko.

Saat kami membawa troli menjelajah lorong-lorong tempat belanja, pengunjung lain menatap kami seakan kami adalah teka-teki yang tidak bisa mereka pecahkan, dan buru-buru memalingkan muka saat saya menangkap tatapan mereka.

Di lorong bahan makanan, seorang wanita yang sedang meraih sebuah apel memberi saya senyum khawatir yang terlalu riang, yang bermakna: ‘Saya menerima perbedaan dan tidak bermasalah dengan anak Anda.’ Ia terlihat sangat bersungguh-sungguh, begitu berhasrat membuat saya merasa nyaman, hingga tiba-tiba saya memahami bagaimana rasanya memiliki anak dengan difabilitas yang jelas, dan semua rasa penasaran atau simpati orang asing yang tidak diinginkan yang timbul karenanya.

Di kasir, seorang wanita Selatan paruh baya menyatukan kedua tangan kurusnya dan membungkuk perlahan ke arah Aliya.

‘Wah, wah,’ gumamnya sambil menggelengkan kepala penuh ketidakpercayaan. ‘Kamu terlihat sangat manis!’ Putri saya tersenyum sopan, kemudian berbalik ke arah saya untuk meminta sebungkus permen karet.

Pada hari-hari selanjutnya, Aliya mengenakan kerudungnya untuk sarapan sambil masih mengenakan piyama, untuk pergi ke acara kumpul-kumpul Muslim di mana ia dibanjiri pujian, dan untuk ke taman, tempat para ibu berbincang dengan saya penuh kehati-hatian, berusaha tidak membicarakan kerudungnya.

Belakangan di pekan yang sama, di kolam renang setempat, saya memperhatikan seorang anak perempuan yang sedikit lebih tua daripada Aliya bermain tenis meja dengan seorang anak lelaki seusia. Ia sedang berada dalam masa canggung antara masa kanak-kanak dan remaja – pinggul kecil, kaki kurus, payudara yang tumbuh samar – dan ia mengenakan bikini tali.

Lawannya mengenakan kaus dan celana pendek kebesaran yang jatuh di bawah lututnya. Saat si anak lelaki memukul bola, si anak perempuan mengejarnya sambil berusaha, dengan satu tangan, menjaga tali licin spandeksnya agar tidak melorot. Saya ingin menawarkan handuk untuk membungkus bagian bawah tubuhnya agar ia bisa berkonsentrasi dalam permainan dan merasakan kesenangan membuat pukulan yang sempurna.

Mudah saja mengetahui mengapa ia bisa dihabisi dalam permainan ini: tubuhnya yang hampir telanjang menguasai fokusnya. Dan pada ekspresi kerepotannya saya mengenali campuran akrab rasa malu dan semangat yang saya rasakan saat pertama kali mengenakan bikini.

Pada usia 14 tahun, saya berjalan di lorong-lorong sekolah menengah seperti tupai dalam lalu lintas: menempel ke dinding, mengubah arah tiba-tiba, mencari perlindungan. Kemudian saya pergi ke Los Angeles untuk mengunjungi Tante Mary pada libur musim dingin. Mary mengoleksi putri duyung, menyimpan foto hitam putih guru India-nya yang berambut panjang, dan berbelanja di toko makanan sehat kecil yang beraroma nilam dan selai kacang. Ia mengajak saya ke Pantai Venice, di mana saya membeli bikini murah dari penjual jalanan.

Dipenuhi semangat menyambut siang yang cerah, saya kira saya bisa jadi orang lain – dengan tubuh mengkilap dan bangga seperti binaragawan di kebun, santai dan tidak acuh seperti para hippy yang bersantai di jalan setapak dengan dupa menyala terselip di belakang telinga. Di kamar mandi tepi pantai berlantai semen berpasir, saya berganti mengenakan pakaian renang baru.

Saya merasa seluruh tubuh saya merinding; saya merasa tidak berdaya dan tidak terlindungi seperti seekor kura-kura yang dikeluarkan dari cangkangnya. Dan saat meninggalkan kamar mandi, pandangan para pria terasa menahan saya di satu titik.

Terlepas dari rasa aneh dan malu yang semakin besar, saya terpaku pada cengiran mereka; saya merasa menemukan kunci penting misteri diri dalam ekspresi mereka. Apa yang dilihat para pria ini pada saya? Kekuatan aneh apa ini yang ada antara kami, yang dengan cepat membuat saya merasa bekuasa satu detik dan begitu rapuh di detik berikutnya?

Saya membayangkan Aliya dalam balutan bikini tali beberapa tahun lagi. Kemudian saya membayangkannya dalam balutan busana Muslim. Sulit mengatakan mana yang lebih tidak mengenakkan. Kemudian saya memikirkan sesuatu yang pernah dikatakan seorang teman Muslim Sufi: Sufi meyakini bahwa inti diri kita memancar keluar tubuh fisik kita – bahwa kita memiliki semacam kulit kedua yang energik, yang sensitif dan dapat menyerap orang-orang yang kita temui. Pria dan wanita Muslim mengenakan busana santun, ujarnya, untuk melindungi ruang bertenaga antara mereka dan dunia ini.

Tumbuh besar di California Selatan pada tahun 70-an, saya belajar bahwa kebebasan bagi wanita artinya, antara lain, lebih sedikit bahan, dan bahwa wanita bisa jadi apapun – dan masih terlihat bagus dalam balutan bikini. Menjelajahi kebebasan fisik adalah bagian penting dalam penemuan jati diri saya, tetapi memiliki nilai tersendiri.

Sejak hari itu di Pantai Venice, saya menghabiskan bertahun-tahun belajar berenang dalam pusaran daya tarik: menginginkan rasa diidamkan, menolak pendekatan yang tidak diinginkan, menggali kedalaman misterius kerinduan saya sendiri. Saya menghabiskan berjam-jam memperhatikan pantulan diri sendiri di cermin – mengaguminya, membencinya, mengira-ngira apa yang orang lain pikirkan tentangnya – dan terkadang saya berpikir jika saja saya melakukan pengamatan menyeluruh yang sama terhadap subyek lain, saya bisa tercerahkan, menulis novel, atau setidaknya mengetahui cara membuat kebun sayur organik.

Pada suatu Sabtu pagi baru-baru ini, di dalam sebuah ruang ganti pusat perbelanjaan yang penuh sesak, saya mencoba jins buatan desainer bersama mahasiswi bersepatu hak tinggi runcing, ibu-ibu muda dengan bayi yang rewel, wanita paruh baya dengan bibir mengkilap yang mengerucut. Satu demi satu kami memasuki ruang ganti, kemudian berbaris untuk mendapat giliran berdiri di atas alas, dikelilingi cermin, menekuk pinggul dan menahan perut serta menjulurkan leher untuk memandangi bokong kita.

Saat giliran saya tiba, hati saya merasa berat. Wajah saya terlihat pucat di bawah cahaya lampu, dan tiba-tiba saya merasa kelelahan atas tahun-tahun yang saya habiskan mengejar setitik perbaikan diri, sambil membawa-bawa kritik tajam pada diri sendiri.

Saat ini, Aliya memiliki ketertarikan mendalam terhadap dunia di sekitarnya, bukan pada apa yang dilihatnya di cermin. Musim panas lalu ia berdiri di tepi Blue Ridge Parkway, memandang ke garis biru hitam pegunungan di kejauhan dengan puncak digayuti awan kapas, dan terkesiap. ‘Ini adalah hal terindah yang pernah saya lihat,’ bisiknya. Matanya yang terbuka lebar adalah cerminan keindahan di hadapannya, dan ia berdiri begitu diam hingga terlihat bersatu dengan lansekap nan luas, hingga akhirnya kami memecahkan lamunannya dengan menariknya kembali ke mobil.

Lain lagi di sekolah. Di kelas empat, anak-anak perempuan seusianya telah menghubungkan busana dengan popularitas. Beberapa pekan lalu, dengan penuh kemarahan ia bercerita tentang seorang teman sekelasnya yang mengukur semua anak perempuan di kelas berdasarkan betapa bergayanya mereka.

Saat itu saya paham bahwa meski paparan fisik telah memerdekakan saya dalam beberapa hal, Aliya bisa saja menemukan jenis kebebasan yang sama sekali berbeda dengan memilih menutupi tubuhnya.

Saya tidak tahu berapa lama ketertarikan Aliya pada busana Muslim akan bertahan. Jika ia memilih untuk memeluk Islam, saya yakin keyakinannya akan mengajarinya toleransi, kerendahan hati, dan rasa keadilan – sebagaimana yang agama tersebut ajarkan pada ayahnya. Dan karena saya memiliki hasrat kuat untuk melindunginya, saya juga akan mengkhawatirkan kalau-kalau pilihannya membuat hidupnya sulit di negaranya sendiri. Baru-baru ini ia menghapal fatihah, ayat pembukaan di Qur’an, dan ia menekan ayahnya untuk mengajarinya bahasa Arab. Ia juga menjelma menjadi pesepeda gunung yang gesit yang bersepeda bersama saya di jalur-jalur hutan, dengan lumpur memenuhi betisnya saat bersepeda melintasi anak sungai besar.

Sebelumnya saat saya mengantarnya ke sekolah, bukannya buru-buru pergi seperti biasanya, saya memperhatikannya berjalan di antara kerumunan anak-anak, punggung membungkuk karena berat ranselnya membuatnya terlihat sedang menerjang badai. Ia bergerak penuh kepastian, dalam kesendiriannya, sangat berbeda dengan saya saat seusianya, dan sekali lagi saya menyadari betapa misteriusnya ia bagi saya.

Bukan hanya penutup kepalanya yang membuatnya misterius: tetapi juga ketidakpeduliannya akan pendapat orang tentangnya. Juga ketika saya menemukan tumpukan permen Halloween yang tidak tersentuh di lacinya, padahal saat kecil saya terobsesi pada permen. Juga kenyataan bahwa ia lebih memilih menyelam ke dalam sebuah buku daripada ke laut; bahwa ia begitu terpikat pada bacaannya hingga tidak bisa mendengar saya memanggil dari kamar sebelah.

Saya melihatnya berlutut di pintu masuk sekolahnya dan menarik selembar kain yang terlipat rapi dari kantung depan tasnya, sementara anak-anak lain memasukkan permen karet atau pengilap bibir. Kemudian ia memasang kain tersebut di kepalanya, dan pundaknya tersembunyi di balik kain seperti jubah yang digunakan adiknya saat berpura-pura menjadi pahlawan super.

Saya membayangkan kerudung itu memiliki kekuatan ajab untuk melindungi imajinasinya yang tanpa batas, persepsinya yang tajam, dan kebaikannya yang tanpa batas. Saya membayangkan kerudung itu membentenginya dalam perjalanan melintasi rumah kaca tempat di mana banyak wanita muda terperangkap dalam keremajaan, menjaganya dari ketidakpuasan, tidak peduli sebanyak apapun pilihan yang kita punya, memberinya perlindungan saat ia menggapai masa depan yang tidak saya ketahui.

-----------------------------------------------------------
Penulis Amerika penerima penghargaan Krista Bremer menikah dengan seorang Muslim kelahiran Libya. Esai pribadi yang ditulis secara tajam berasal dari hatinya dan disampaikan dengan pemikiran terbuka yang cerdas dalam gaya santai yang memerangkap pembaca di seluruh dunia. Cuplikan kehidupan bikulturnya juga membuatnya memiliki penggemar di kalangan Muslim yang memahami cobaan dan kebahagiaan yang Krista, simbol wanita urban – percaya diri, sukses, toleran, kuat, dan cerdas – hadapi dalam kesehariannya bersinggungan dengan Islam dan kehidupan modern. Ia penerima penghargaan Pushcart Prize 2008 dan Rona Jaffe Foundation Writers’ Award 2009, seorang rekan penerbit di majalah sastra The Sun, dan sedang menulis memoir pernikahan bikulturnya.

Artikel ini pertama kali terbit di majalah Aquila Style edisi September/Oktober 2011



Read More..

Tentang KRL

Dalam perjalanan pulang dengan kereta listrik jabodetabek terjadi percakapan antara anak dengan ayahnya, yang terjadi sambil menunggu kereta datang.

Anak : “Pa, kenapa sih di kereta ada tempat duduk prioritas?”

Ayah : “itu karena kita harus memberikan tempat duduk terlebih dahulu kepada orang-orang yang mempunyai kondisi kekurangan. Misalnya orang yang sedang sakit, ibu hamil dan ibu bawa anak, orang yang sudah tua.”


Anak : “kalau seperti itukan gak harus pake tempat duduk prioritas pa, di manapun kita berada harus kasih tempat duduk ke orang – orang seperti itu terlebih dahulu..”

Ayah : “Memang seharusnya seperti itu, tapi kenyataannya kesadaran masyarakat kita masih kurang...terutama karena mereka belum bisa mensyukuri nikmat sehat dan kekuatan yang diberikan Allah SWT kepada kita..”

Anak : “maksudnya?”

Ayah : “begini, sebenarnya kalau kita orang-orang yang beriman tentu akan berlomba-lomba untuk memberikan tempat duduk kita ke orang yang lebih membutuhkan itu..kenapa? karena setiap orang yang beriman tentu akan berusaha untuk beramal dan berbuat baik terhadap orang lain. Selain itu juga sebagai wujud syukur karena kita masih di pilih oleh Allah SWT karena kita masih di berikan kesehatan dan kekuatan untuk bisa beramal dan berbuat baik untuk orang lain...itu berarti kita ini orang pilihan...tapi sayangnya banyak yang tidak menyadarinya...sehingga seringkali kita justru iri terhadap orang yang kekurangan itu...misalnya enak banget tuh orang baru naik udah dapet duduk..padahal harusnya kita yang bersyukur karena masih di beri kesehatan sehingga bisa memberikan tempat duduk kita pada orang lain...coba kalau nikmat itu di cabut dan di kasih ke orang lain..”

Anak : “ooh gitu ya...”

Ayah : “iya, dan semakin kita bersyukur maka akan semakin banyak nikmat yang akan di berikan pada kita..selain itu sebagai orang muda kita memang harus sehat dan kuat..sekarang bagaimana kamu bisa melindungi adik kamu dan mama kamu?..kalau untuk berdiri saja kamu tidak mampu...bahkan lebih lemah dari orang tua, atau ibu hamil....bagaimana negeri ini bisa hebat kalau anak mudanya mentalnya lemah seperti itu....? karena seringkali justru pikiran kitalah yang membuat kita lemah...”

Anak : “iya sih pa...”

Sebuah percakapan yang banyak memberikan perenungan bagi saya, dan bagaimana menanamkan jiwa dan mental yang kuat serta kepedulian terhadap sekeliling atau lingkungan.





Memang seringkali kita merasa sebagai orang yang bersyukur dengan banyak melakukan ritual ibadah dan beramal secara materi, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita masih enggan untuk berbagi. Enggan untuk memberikan sesuatu yang kita miliki justru pada orang yang membutuhkan. Padahal konsep berbagi dan beramal dalam agama adalah bagaimana kita bisa memberi terhadap yang membutuhkan. Bukan sekedar memberi apa yang ingn kita beri.

Dari percakapan di atas saya berfikir alangkah menyedihkannya kita karena ternyata kita tidak dapat melihat apa yang menjadi prioritas dalam hidup kita. Karena prioritas dalam memberikan tempat duduk lebih di pahami sebagai tempat yang prioritas bukan siapa yang menjadi prioritas untuk mendapatkan duduk. Itu menandakan lemahnya kesadaran kita akan nilai-nilai moral dan akhlak yang baik. Itu juga yang menunjukkan mengapa bangsa yang besar ini tidak bisa menjadi besar, karena ternyata pemikiran kita masih kerdil. Kita masih menganggap diri kita lemah sehingga tidak mampu bersaing dengan kerasnya dunia ini. Kehidupan kita sehari-hari adalah cermin bagaimana kita bisa berbuat dan bertanggung jawab atas apa yang di berikan kepada kita. Baik itu kesehatan, materi, kekuatan, kekuasaan dan lain sebagainya.

Saya berpendapat bahwa saat kita bisa menolong orang lain, atau membantu orang lain baik itu dalam bentuk materi atau apapun itu, itu semata-mata bukan karena kemampuan kita. Tetapi karena kita di berikan kesempatan dan kepercayaan oleh yang Kuasa untuk menjadi perantara Nya dalam menyampaikan pemberian Nya ke orang lain. Semestinya kita bersyukur dan berbahagia karena bisa mendapatkan kepercayaan itu, bukan berbangga diri dan takabur, apalagi berfikir seolah-olah kalau bukan kita tidak akan ada yang bisa menolong orang tersebut.

Buat saya hidup ini bagaikan sebuah PUZZLE, di mana setiap potongan puzzle akan memiliki bentuk dan tempat yang berbeda sehingga bisa di susun sedemikian rupa untuk menjadi sebuah gambaran utuh, itulah kehidupan. Namun bagaimana bentuk dan posisi kita dalam puzzle itu, kita sendiri yang menentukan. Dan bagaimana kita mewujudkan rasa syukur kita dalam kehidupan kita sehari-hari adalah sebagai bentuk dan posisi kita dalam bingkai puzzle tersebut.

Semoga kita bisa mensyukuri nikmat yang di berikan kepada kita dalam kehidupan kita sehari-hari sebelum nikmat itu di cabut dan di berikan kepada orang lain.

Sumbernya dari sini
Read More..

Terdampar Di Pulau Terasing

Syahdan seorang pria berhasil selamat dalam sebuah kecelakaan kapal di tengah samudera yang luas. Dengan sebuah bongkahan kayu pecahan kapal dia berhasil menepi ke sebuah pulau kecil terasing yang tidak dihuni oleh satu orangpun.

Dalam keputusasaannya ia berdoa dengan sangat dan memohon kepada Allah untuk dapat menyelamatkannya dari pulau tersebut. Setiap hari dia memandangi cakrawala berharap ada sebuah kapal yang datang dan menyelamatkannya.

Lelah dan putus harapan, akhirnya ia mencoba untuk hidup dan mempertahankan diri dengan membuat gubuk dan pondok kecil untuk berlindung dan mulai mencoba bertahan hidup. Setelah beberapa lama ia mulai terbiasa hidup sendiri di pulau tersebut.

Suatu hari ia mencoba berburu di hutan di belakang pantai mencoba mencari hewan buruan yang sekiranya dapat dimakan. Setelah lelah seharian berburu, ia kembali ke pondok yang telah dihuninya selama beberapa waktu. Tapi alangkah terkejutnya ketia ia mendapati gubuknya telah rata dengan tanah, terbakar habis. yang tersisa hanyalah api dan asap pekat yang membubung tinggi. Apa yang telah diusahakannya selama terdampar dan tinggal di pulau tersebut habis tak bersisa. Alam hatinya ia mulai marah dan putus asa.

"Ya Allah, mengapa Engkau timpakan ini semua padaku!" jeritnya sambil menyalahkan Allah atas musibah tersebut. Dan malam itu ia lewatkan dengan tidur di alam terbuka dekat gubuk yang terbakar tersebut.

Hari berikutnya ia terbangun dari tidurnya oleh suara kapal yang perlahan mendekat ke pulau tersebut. Perahu tersebut menurunkan sebuah sekoci yang segera merapat ke pulau terpencil tersebut. Tampaknya perahu tersebut tahu bahwa ada orang di pulau tersebut.

"Bagaimana kau tahu di sini ada orang yang perlu pertolongan?" tanyanya pada penumpang sekoci tersebut.

"Kami melihat tanda asap yang engkau nyalakan", jawabnya.

Hikmah dan pelajaran:

Sangat mudah kita berputus harapan dan menyalahkan Allah atas semua hal buruk yang menimpa kita. Padahal sesungguhnya Allah bekerja dan memberi jalan terbaik, meskipun tampak menyakitkan dan menyedihkan. Ingatlah, suatu ketika engkau tertimpa hal buruk, mungkin menjadi tanda bahwa Allah sekali lagi akan menunjukkan kasih dan sayangnya.


Read More..

Dendam Itu Berubah

SEORANG lelaki yang baru menikah tinggal menumpang di rumah mertuanya. Beberapa saat tinggal bersamanya, akhirnya ia demikian kesal dengan ibu mertuanya yang menurutnya sangat brengsek, cerewet, bawel, bossy, dan angkuh sekali.

Setelah dua tahun, baginya cukup sudah penderitaan itu. Ia memutuskan untuk mengakhiri dengan berencana membunuh ibu mertuanya. Setelah memutar otak, ia pergi mendatangi dukun yang paling sakti di daerahnya.

Usai bercerita dengan penuh kegeraman, sang dukun tersenyum dan mengangguk-angguk. Diberinya sebotol cairan yang menurut petunjuk dukun adalah racun yang sangat mematikan. Syaratnya harus diberikan sedikit demi sedikit selama 2 bulan, dan dalam memberikan ia diharuskan bersikap manis, berkata lebih sopan, serta selalu tersenyum. Hal ini untuk membuat si mertua supaya tidak mencurigainya. Dengan penuh kesabaran, hari demi hari ia mulai meracuni si mertua, tentunya dengan sikap manis, tutur kata yang lebih santun serta senyum yang tidak lepas dari mulutnya. Perlahan namun pasti ia mulai melihat perubahan pada mertuanya.





Ada satu hal yang membuatnya bingung, setelah satu bulan ia meracuni mertuanya, kelakuan mertua ini justru berubah menjadi demikian baik padanya. Sikapnya berubah 180 derajat dari sebelumnya, ia mulai menyapa lebih dahulu setiap kali ketemu. Pikirnya, ini pasti akibat awal dari racun itu, yakni adanya perubahan sikap sebelum akhirnya meninggal. Mendekati hari ke-40 sikap mertua semakin baik dan hubungan dengannya semakin manis, ia mulai membuatkan minum teh di pagi hari, menyediakan pisang goreng dan seterusnya. Sebuah perilaku mertua yang dulu tidak pernah ia bayangkan akan terjadi.

Puncaknya pada hari ke-50 mertua memasakkan makanan yang paling ia sukai, bahkan di pagi harinya ia terkejut saat mendapati bajunya sudah dicuci bahkan diseterika oleh si mertua. Tak ayal lagi, hati kecilnya mulai memberontak. Muncullah rasa bersalah yang makin hari makin menguat. Pada hari ke-55, sudah tak terbendunglagi penyesalan itu, karena melihat perubahan si Ibu mertua yang menjadi sedemikian sayang padanya. Akhirnya pergilah ia ke dukun itu lagi, dengan terbata-bata penuh penyesalan dan rasa berdosa ia memohon-mohon untuk dibuatkan penangkal racun yang pernah diberikan sang dukun padanya.

Dengan senyum bijaksana bak malaikat, dukun itu berkata “Cairan yang kuberikan padamu dulu itu bukanlah racun, namun air biasa yang kuberi warna saja. Sikap mertuamu yang berubah menjadi sayang padamu, disebabkan karena SIKAP DIRIMU YANG TERLEBIH DAHULU BERUBAH MENJADI LEBIH RAMAH, LEBIH SANTUN DAN SELALU SENYUM PADANYA.”

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas. Pertama, sikap buruk/penolakan orang lain, hanyalah sebagai akibat/reaksi atas sikap buruk kita padanya. Kedua, kalau mau mengubah orang lain, kitalah yang berubah dahulu. Ketiga, tidak semua ‘dukun’ salah. Kita juga harus jadi ‘dukun’ kalau sukses belajar yakni ‘duduk dengan tekun’. Keempat: Selamat mencoba!

sumber : Islampos

Read More..

20 Sen

TERSEBUTLAH kisah, seorang Imam yang dipanggil ke suatu tempat untuk menjadi Imam di sebuah masjid. Ia pun hendak berangkat ke tempat itu, telah menjadi kebiasaan, Imam tersebut selalu menaiki bus untuk pergi ke masjid.

Pada suatu hari, selepas Imam tersebut membayar tiket dan duduk di dalam bus, dia tersadar saat kondektur bus tersebut memberikan uang kembaliannya.

Namun ternyata uang itu lebih dari yang harus ia bawa, sebanyak 20 sen.
Sepanjang perjalanan Imam tersebut memikirkan tentang uang 20 sen tersebut.

“Perlukah aku mengembalikan uang 20 sen ini?” Imam tersebut bertanya kepada dirinya.

“Ah… pemilik bus ini sudah kaya, rasanya hanya uang sebesar 20 sen tidak akan menjadi masalah. Untuk membeli bensin pun tidak akan cukup,” hati kecilnya berkata-kata.

Sesampainya di masjid, Imam itu pun segera menghentikan bus dengan membunyikan bel. Bus pun berhenti.





Namun, saat akan turun Imam itu merasakan kaku tubuhnya. Seketika itu juga ia berhenti berjalan dan berpaling kepada kondektur bus, sambil mengembalikan uang 20 sen yang tadinya takkan dia kembalikan.

“Tadi, kamu memberikan uang kembalian terlalu banyak kepada saya,” kata Imam kepada kondektur bus.

“Oh, terima kasih! Kenapa dikembalikan pak? padahal uang 20 sen itu sangat kecil nilainya,” tutur kondektur bus.

Sang Imam pun menjawab, “Uang tersebut bukan milik saya, sebagai seorang muslim saya harus berlaku jujur.”

Kondektur bus tersebut tersenyum dan berkata, “Sebenarnya saya sengaja memberi uang kembalian lebih sebanyak 20 sen, saya ingin tahu kejujuran anda wahai Imam.”

Imam tersebut turun dari bus dan seluruh jasadnya menggigil kedinginan. Imam tersebut berdoa sambil menadah tangan,

“Astaghfirullah! Ampunkan aku ya Allah, aku hampir-hampir menjual harga sebuah iman dengan 20 sen.”

Kini, banyak sekali orang yang dengan mudahnya menukar keimanan dengan beberapa bungkus mie atau sedikit beras. Hanya untuk mengenyangkan perut, tanpa mengingat balasan yang akan didapat di dunia ataupun di akhirat.

Banyak orang yang tidak sadar, uang yang dia konsumsi akhirnya akan menjadi nyala api di akhirat kelak. “Sedikit kok,” mungkin begitulah tadinya para petinggi yang menyalahgunakan uang umat.

Tapi akhirnya godaan setan terus memperdengarkan nyanyian neraka lalu tergoda kembali untuk mengambil uang yang bukan haknya sedikit demi sedikit

Read More..

Perumpamaan Ampunan Allah

Aisyah namanya, ia masih berusia tujuh tahun. Tahun ini adalah tahun pertamanya di sekolah dasar. Prestasinya biasa saja karena kami tidak ingin memaksanya belajar setiap kali ulangan atau tes evaluasi belajar. Meski begitu ia putri yang pandai menurut saya karena seringnya ia membuka pembicaraan dengan topik yang mungkin tidak pernah kita duga.

Sore itu saya mengendarai mobil untuk menjamput istri dari tempat kerjanya. Ditemani putri kecil kami tersebut saya mngendarai mobil menembus hujan yang cukup deras sore itu turun. Saya harus tetap fokus mengemudi mengingat banyak bagian jalan menjadi tergenang dan sedikit licin.


Setelah sekian lama Aisyah diam sambil menikmati hujan dalam perjalanan kami, tiba-tiba ia sedikit mengagetkan fokus saya pada kemudi, memecah keheningan sore itu.

“Ayah, aku sedang memikirkan sesuatu...”

Biasanya jika sedang seperti itu maka selanjutnya ia akan bercerita. Sambil sedikit melambatkan laju kendaraan saya menjawab pembicaraannya, “Ada apa nak, apa yang kamu pikirkan?”





“Hujan.” Jawabnya. “Hujan ini seperti dosa-dosa kita.”

“Kenapa kau berpikir seperti itu. Bukankah hujan adalah rahmat dari Allah?”

“Betul Ayah, tapi itu seperti perumpamaan dosa-dosa kita. Dan wiper (penghapus air hujan) di kaca itu seperti ampunan Allah.”

Sedikit kaget bercampur dengan keingintahuan, saya melanjutkan pembicaraan tersebut dengan bertanya, “Lalu apa yang kamu maksud dengan wiper ini, apa maksudnya?”

Tanpa ragu-ragu ia menjawab dengan nada datar tapi terdengar tegas, “Kita terus berbuat dosa dan Allah terus datang menghapusnya dengan ampunan.”

“Kamu benar nak, Allah akan selalu menerima taubat dan ampunan hambaNya tak perduli seberapa besar dan seberapa sering dosa itu terjadi, Allah akan selalu mengampuni, selama nafas kita belum sampai di tenggorokan. Itulah tanda bahwa Allah sangat sayang pada kita”

Dua buah ayat yang pasti akan saya tunjukkan padanya sesampai di rumah.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110).


Dan setiap kali hujan saya selalu mengingat percakapan dengan anak kami tersebut saat menghidupkan wiper kaca mobil. Terima kasih Ya Allah yang telah memberikan putri kecil kami ke-faham-an dan kehalusan tutur katanya.


Read More..

Siapa Bilang Mau Ke Neraka Itu Murah?

SUARANYA sedikit serak dan matanya berkaca-kaca. Ia menuturkan betapa gembira istri dan anak-anaknya waktu mereka diajak makan malam di sebuah restoran di Bandung Utara. “Rasanya sudah lama sekali saya tidak berbincang-bincang dengan istri dan anak-anak saya,” tuturnya.

“Sekali-sekali makan di luar bersama keluarga sangat menyenangkan. Istri dan anak-anak saya kelihatan sangat berbahagia. Anak-anak saya banyak bercerita tentang berbagai kegiatannya dan juga banyak bertanya tentang berbagai macam hal. “Yang terpenting, kata teman saya itu, biaya untuk membahagiakan keluarga ternyata murah, tidak mahal”.

***

Lalu ia membandingkan dengan berbagai kegiatannya sebelumnya.

Ia bukan pemabuk, hanya sekali-sekali ia mabuk, kalau kelewat batas meminum minuman beralkohol. Pada restoran sedikit di atas kelas menengah, satu gelas single Whiskey dan Tequila adalah Rp 30.000. Kalau ingin gaya sedikit, sebotol Champagne harganya lebih dari Rp 1 juta.

“Dengan uang sebanyak itu, saya dapat membahagiakan istri dan anak-anak saya untuk makan-makan di restoran lebih dari lima kali,” katanya.

Ia juga bukan penyanyi, tetapi ia pintar menyanyi dan suaranya lumayan bagus. Pernah ia berseloroh, “Kalau saya lelah jadi pengusaha, saya akan menjadi penyanyi”. Biasanya, ia minum-minuman keras di karaoke. Biaya yang dikeluarkan untuk menyewa ruang karaoke kelas VIP adalah Rp 1 juta dan untuk lebih meriah ia menyewa pemandu lagu (PL) dengan harga Rp 200.000 per jam.





“Mas tahu sendirilah,” katanya. “Seringkali saya kebablasan. Dari ruang karaoke pindah ke kamar hotel”. Jumlah uang yang dihamburkannya dalam semalam, menyamai gaji guru besar dalam sebulan.

“Itu belum seberapa mas,” katanya. Suaranya terdengar bangga namun terselip ada nada pahit. “Pada diskotek yang elite dan mewah, teman saya menyewa hostes dua juta tiap jamnya. Dan Mas dapat memperkirakan berapa besar uang yang harus dibayar teman saya kalau ia membawa hostes itu ke kamar hotel.”

***

“Itu adalah bagian dari masa lalu saya Mas,” tambahnya. “Kini saya kembali ke pangkuan keluarga. Kembali kepada istri dan anak-anak saya.”

“Mungkin inilah yang dinamakan hidayah,” katanya dengan mata menerawang jauh. “Saya hampir bangkrut karena judi. Mula-mula hanya iseng, recehan, seribu dua ribu rupiah, agar main gaplenya lebih serius. Namun, sekali lagi saya kebablasan, sebagian perusahaan saya sudah hilang dalam perjudian itu. Saya diselamatkan oleh rasa letih yang luar biasa, saya istirahat dan berhenti berjudi sehingga tidak semua perusahaan saya lenyap”.

Saya hanya sedikit berkomentar, untunglah ia tidak seperti Pendawa Lima yang menjadikan negara sebagai taruhan dalam perjudian dan Pendawa Lima kalah.

“Ya, untunglah saya tidak seperti Pendawa Lima. Masih ada harta yang tersisa untuk hidup bahagia,” katanya sambil menarik napas lega.

“Hidup ini aneh,” tambahnya. “Semua yang saya lakukan dahulu itu, seperti mabuk-mabukan, melacur, dan berjudi, adalah tiket menuju neraka yang menyengsarakan. Kenapa lumayan banyak orang mau membeli tiket ke neraka yang harganya sangat mahal?”

Read More..

Siapa Laki Laki Itu

Apa kabarmu disana nak?

Dikota yang berjarak dua jam perjalanan dari sini, apa kau masih mengingat orang tua renta ini? Yang setiap saat tak henti mendoakan segala yang terbaik untukmu.

Ah.. ayah ingat ketika siang itu, sebelum berangkat kekota, dengan wajah malu-malu kau bercerita tentang niat seorang laki-laki untuk meminangmu. Kau tahu nak_ sudah lama ayah bersiap untuk menanti kabar ini, kabar tentang seorang yang akan membawamu pergi jauh dari ayah. Kabar tentang laki-laki yang meminta pengalihan tanggung jawab dari ayah.. sungguh sudah lama ayah mempersiapkan diri. Tapi tetap saja siang itu ayah terkejut, meski mungkin tidak begitu terlihat diwajah ayah.

Siapa dia nak? Siapa laki-laki yang berani memintamu dari ayah? Bawa dia kesini... biar ayah lihat dulu, seberapa mampu dia meyakinkan ayah bahwa dia akan memperlakukan dan menjagamu tidak kurang dari ayah. Bawa dia kesini nak... biar ayah nilai dulu, seberapa tulus dia menyayangi dan membimbingmu tidak kurang dari ayah. Ayo bawa dia kesini... biar ayah pertimbangkan dulu, seberapa baik agamanya, seberapa besar tanggung jawabnya, dan seberapa sabar dia menghadapi putri kecil ayah.





Nak_ ayah tahu siang itu akan datang, siang yang mengharuskan ayah untuk menyadari bahwa putri kecil ayah akan segera menggenapkan setengah agamanya, dengan bakti pada dia yang belum ayah kenali. Padahal dimata ayah, kamu masih gadis kecil yang beberapa waktu lalu merengek minta dibelikan benang untuk layangan, sebab teman-teman seusiamu yang rata-rata laki-laki sudah punya benang yang panjang untuk layangan mereka. Rasanya kamu masih gadis kecil ayah yang mengadu dengan mata berkaca-kaca bahwa benang layangannya telah kusut, yang terkantuk-kantuk menunggui ayah memperbaikinya agar bisa bermain lagi esok paginya. Yang dulu melempar sepatunya kelaut sebagai alasan meminta ayah mengizinkanmu bermain air. Yang dulu membongkar tas ayah, mencari receh untuk celengan ayammu diatas lemari.

Dan kemarin, ketika dengan izin ayah, kau pergi berkenalan dengan keluarga besarnya. Kembali ayah harus segera menyadari bahwa binar yang kau bawa pulang itu tidak biasa, binar yang belum pernah ayah lihat ketika dengan antusias kau bercerita. Sebenarnya nak, ayah cemburu. ayah mencemburui dia yang tiba-tiba datang tapi sudah mampu menghadirkan getar-getar rasa yang terlihat dirona wajahmu. Tapi percayalah nak, kecemburuan itu segera ayah tepis, ayah usir dengan keyakinan bahwa posisi ayah dan posisinya itu tidak disatu tempat. Bahwa warna cinta untuk ayah tidak sama dengan warna cinta untuknya. Ayah tidak salah, bukan?

Sedikit pesan ayah... setelah nanti kau ayah serahkan dengan disaksikan oleh para malaikat. Jadilah pendamping yang patuh nak, yang senantiasa bersyukur dan berterimakasih, yang menjaga diri dan hartanya, yang tidak mudah menuduh dan menyakiti hatinya, yang menyimpan rahasia dan menutupi aibnya. sebab tidak mudah untuk menjadi seorang suami, tidak mudah untuk menjadi orang yang bertanggung jawab penuh terhadap orang lain, yang harus menjaga dirinya dan ahlinya dari api neraka. Jadi sekali lagi nak... jangan bebani dia, tapi bantulah dia sesuai peran yang kau punya.

Read More..

Sebuah Isyarat

Suatu malam di sebuah rumah, seorang anak usia tiga tahun sedang menyimak sebuah suara. "Ting…ting…ting! Ting…ting…ting!" Pikiran dan matanya menerawang ke isi rumah. Tapi, tak satu pun yang pas jadi jawaban.

"Itu suara pedagang bakso keliling, Nak!" suara sang ibu menangkap kebingungan anaknya. "Kenapa ia melakukan itu, Bu?" tanya sang anak polos. Sambil senyum, ibu itu menghampiri. "Itulah isyarat. Tukang bakso cuma ingin bilang, ‘Aku ada di sekitar sini!" jawab si ibu lembut.

Beberapa jam setelah itu, anak kecil tadi lagi-lagi menyimak suara asing. Kali ini berbunyi beda. Persis seperti klakson kendaraan. "Teeet…teeet….teeet!"

Ia melongok lewat jendela. Sebuah gerobak dengan lampu petromak tampak didorong seseorang melewati jalan depan rumahnya. Lagi-lagi, anak kecil itu bingung. Apa maksud suara itu, padahal tak sesuatu pun yang menghalangi jalan. Kenapa mesti membunyikan klakson. Sember lagi!

"Anakku. Itu tukang sate ayam. Suara klakson itu isyarat. Ia pun cuma ingin mengatakan, ‘Aku ada di dekatmu! Hampirilah!" ungkap sang ibu lagi-lagi menangkap kebingungan anaknya. "Kok ibu tahu?" kilah si anak lebih serius. Tangan sang ibu membelai lembut rambut anaknya.





"Nak, bukan cuma ibu yang tahu. Semua orang dewasa pun paham itu. Simak dan pahamilah. Kelak, kamu akan tahu isyarat-isyarat itu!" ucap si ibu penuh perhatian. **

Di antara kedewasaan melakoni hidup adalah kemampuan menangkap dan memahami isyarat, tanda, simbol, dan sejenisnya. Mungkin, itulah bahasa tingkat tinggi yang dianugerahi Allah buat makhluk yang bernama manusia.

Begitu efesien, begitu efektif. Tak perlu berteriak, tak perlu menerabas batas-batas etika; orang bisa paham maksud si pembicara. Cukup dengan berdehem ‘ehm’ misalnya, orang pun paham kalau di ruang yang tampak kosong itu masih ada yang tinggal.

Di pentas dunia ini, alam kerap menampakkan seribu satu isyarat. Gelombang laut yang tiba-tiba naik ke daratan, tanah yang bergetar kuat, cuaca yang tak lagi mau teratur, angin yang tiba-tiba mampu menerbangkan rumah, dan virus mematikan yang entah darimana sekonyong-konyong hinggap di kehidupan manusia.

Itulah bahasa tingkat tinggi yang cuma bisa dimengerti oleh mereka yang dewasa. Itulah isyarat Tuhan: "Aku selalu di dekatmu, kemana pun kau menjauh!"

Simak dan pahamilah. Agar, kita tidak seperti anak kecil yang cuma bisa bingung dan gelisah dengan kentingan tukang bakso dan klakson pedagang sate ayam.
Read More..