Anakku, Anak Panahku

“Assalamu’alaikum”, sapaku sore itu ketika pulang dan membuka pintu rumah.

“Bapaaaak.....” teriak Haikal, anak kami semata wayang, dengan terburu-buru tampak mau mengatakan sesuatu.

“Eiiitt... jawab dulu salam bapak Nak”, mengingatkan pentingnya menjawab salam.

“Wa’alaikum salam”, jawabnya dan meneruskan sesuatu yang ingin ia sampaikan, “Besok aku test akselerasi di sekolah.”

“Akselerasi itu apa?” Saya tersenyum sambil bertanya.

“Itu lho, sekolah cepet. Nanti kalau aku ikut kelas akselerasi, aku bisa naik kelas dua kali setahun”, jawabnya dengan antusias.

“Trus Haikal mau ikut akselerasi? Jawab saya sambil berusaha mengetahui maksud dan keinginannya.

“Sebenarnya mau, tapi capek”.

“Kenapa koq capek, kan belum tahu?”

“Habisnya nanti pulang sekolah setiap hari jam 4 sore. Aku kan belum mengerjakan pe-er, belajar, makan, mandi, main, belum lagi sholat”. Jawabnya lancar.

“Ya sudah, besok ikut saja test-nya, terserah Haikal, nanti mau ikut akselerasi atau tidak”. Jawab saya sambil menanamkan artinya sebuah pilihan dan konsekuensi yang akan dihadapinya nanti.

Saya memang tidak pernah memaksakan dirinya untuk belajar terlelu keras. Cukup mengerjakan pekerjaan rumah yang didapat di sekolah dan tempat les yang dia ikuti untuk belajar setiap harinya. Ada lima anak di kelasnya yang dipilih untuk mengikuti test program akselerasi di sekolah, dan dia salah satunya.

Pagi itu ia tampak biasa saja seperti hari-hari biasa, ia bangun dan membereskan tempat tidurnya lalu pergi mandi dan sarapan.
“Sudah siap test akselerasi nanti?”, tanya saya sambil keluar rumah untuk mengantarnya ke sekolah. Ia diam dan bersikap biasa saja. Kalau sudah begini biasanya sudah bisa ditebak kalau sebenarnya ia tidak bersemangat untuk test dan mengikuti kelas akselerasi tersebut.

Sore harinya seperti biasa ia menghampiri untuk mencium tangan saya yang sedang duduk melepas sepatu, “Bagaimana test-nya tadi?” Tanya saya sebelum dia mendahului bercerita.

“Biasa”, jawabnya pendek.

“Bisa mengerjakannya? Terus kapan pengumumannya?” kali ini saya sendiri yang tampak antusias menanggapi jawabannya.

“Yaaaaa... bisa lah...”, seperti biasa dia tidak pernah mengatakan tidak bisa setiap kali ulangan atau ujian kenaikan kelas.

“Pengumumannya dua pekan lagi”, dia melanjutkan jawabannya sambil berlalu.

Dua minggu berlalu ketika saya pulang kerja dia memberikan amplop tertutup, “Apa ini?” saya meminta penjelasannya.

“Pengumuman test akselerasi kemaren.” Jawabnya.





“Lulus?”tanya saya sambil membuka amplop yang ia berikan. Tertulis satu kata “LULUS” dan diikuti dengan syarat-syarat dan ketentuan yang harus disetujui seandainya ia berniat mengikuti program kelas akselerasi yang diadakan pihak sekolah.
Sekali lagi saya bertanya padanya, “Haikal mau ikut kelas akselerasi?” Tampak dia bimbang dan diam. “ya sudah, kalau nggak mau ikut juga ngak apa-apa”. Tampak mukanya sedikit cerah dan menyungging senyuman.

Anakku, engkau adalah amanah yang Allah berikan untuk kami. Tugas kami adalah membekalimu dengan ilmu dunia dan akhirat secara seimbang. Engkau sendiri memiliki keinginan dan ego yang juga harus kami perhatikan pertumbuhannya. Tidak boleh kami berlaku dzalim padamu dengan kedok ingin mendidik, membekalimu dan mengajarimu.

Engkau adalah jiwa yang tumbuh dengan segala “kelebihan” yang Allah berikan padamu. Tugas kami adalah memagarimu dari segala pengaruh buruk dari lingkungan dan budaya yang semakin ter-degradasi.

Tapi engkau tetaplah makhluk yang tumbuh, makhluk yang harus bisa mandiri dan memiliki identitas serta sikap yang jelas saat dia dewasa.

Anakku, engkau adalah anak panah kami. Maafkan bila kami tidak bisa mengarahkanmu pada sasaran yang tepat. Kami selalu berharap agar angin dan burung bisa membantumu menembus sasaran yang tepat di hadapanmu.

Bekasi, 10 Februari 2016
Read More..

Ikhlas Berkorban

Dalam perjalanan di luar negeri, saya pernah melihat seorang ibu sedang memungut makanan dari tong sampah. Saya pikir si ibu itu akan menelan makanannya, tapi ternyata saya salah. Makanan dari mulutnya itu langsung disuapkan ke dalam mulut anak balitanya. Suapan dari mulut ke mulut ini berlangsung di tengah hilir mudik orang ramai yang melirik peristiwa itu. Saya sempat terkejut. Karena saya sadar bahwa si Ibu menggunakan mulutnya untuk membersihkan makanan itu dari kotoran dan setelah bersih ia tidak menelannya tapi ia justru memberikannya kepada anak balitanya. Inilah pengorbanan yang fantastik. Sulit diterjemahkan dengan akal sehat. Tapi kehidupan ini memang ada karena berkat pengorbanan dalam senyap.

Dulu ketika saya tamat SLP dan diterima di SMU, karena tidak ada uang untuk membeli seragam sekolah, ibu saya, dari sore sampai keesokan paginya tanpa istirahat, dalam keadaan sakit batuk, menjahit celana panjang untuk saya. Celana itu bahannya dari celana yang dimiliki oleh ayah saya. Itu ia lakukan agar keesokan paginya saya bisa sekolah dengan seragam baru. Ketika saya berangkat sekolah, yang saya lihat tak ada nampak sedikitpun kelelahan dari ibu, kecuali rasa bahagianya karena melihat saya tersenyum untuk pertama kalinya menggunakan celana panjang ke sekolah. Ayah saya pun tersenyum walau celana terbaiknya harus dikorbankan untuk seragam sekolah saya. Mereka sendiri tidak tahu apakah selanjutnya saya bisa terus sekolah. Namun, kekuatan cintanya pada hari itu adalah titik awal yang membuat saya dewasa.

Ibu dan ayah kita adalah contoh nyata bagaimana Tuhan menunjukkan makna ikhlas memberi. Tanpa berharap apapun kecuali cinta kepada anak yang diamanahkan Tuhan kepadanya. Memberi karena Tuhan memang tak bisa disandingkan dengan harta apapun di dunia ini. Mengapa? Apa yang ialami oleh ibu, juga berlaku bagi kita sebagai bentuk apa yang disebut dengan detachment - buah dari iman dan kedahsyatan. Ketika ia berkorban, “Aku“ bukan lagi subject yang bertindak. Tak ada rasa sakit, sedih, cinta, harapan, ketakutan, tak ada aku. Semuanya adalah titah-Mu. Sejenis pengorbanan diri yang sublime.





Berkorban adalah peniadaan ganda. Meniadakan aku dan meniadakan apa yang bagian dari diriku. Apa yang luar biasa dari kisah orang yang berkorban itu? Apa yang luar biasa adalah bahwa kita jarang mengingat, bahwa secara DNA anak itu bukanlah milik Ibu. Ia milik sang Ayah. Tapi ia berbuat dengan pengorbanan untuk sesuatu yang bukan miliknya. Keikhlasan karena titah Illahi dan didesain untuk itu. Memang sebuah pengorbanan yang sublime.

Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasarkan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”memberi”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung premis bahwa ada yang turah, apalagi waktu, dalam hidup. ”Memberi” tak mengenal langka. Inilah makna yang terdalam di balik keikhlasan memberi.

Hidup kini kian ribut oleh Langka dan manusia cemas. ”Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba, dari mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara menghadapi sebuah kelak yang masih akan dirundung Langka. Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke dalam wilayah, di mana orang mencoba meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga keserakahan yang terbit dari kecemasan itu.

Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Di proteksi dengan asuransi. Semua kebaikan dan derma di kalkulasi agar rahmat melimpah dan sorga didapat, dan hidup jadi melelahkan karena Tuhan di partanyakan...


Status Jeli Bandaro 26 Januari 2016
Read More..

Tips untuk Jomblowati yang Mencari Jodoh

Cari suami itu jangan muluk-muluk, biar seru menikmati pernikahan..
ngerasain ngontrak.. ngerasain roller coaster kehidupan sambil nangis, ketawa, nangis lagi, ketawa lagi.. sambil saling berpelukan menguatkan.. *indah tauuukkk itu!

Kalo ujug-ujug.. kalian mo cari suami yg muda, ganteng, sholeh, mapan, pinter..
Kalian butuh beberapa strategi dan kemungkinan...

Setidaknya ada 2 Fakta yg perlu kalian tau..

Pertama,
Kalian butuh energi dan mental yg cukup kuat untuk memasuki persaingan maha ketat.. karena pria SINGLE jenis ini, pastilah amat sangat langka, dan peminatnya bisa saja berjumlah ribuan.
Saingan kalian adalah wanita yg bisa jadi jauh lebih cantik, lebih muda, dan lebih oke

Kedua,
besar kemungkinan, pria jenis ini banyak.. tapi sudah jadi SUAMI ORANG.. Karena Pria-pria jenis ini, dibelakangnya sudah ada istri-istri hebat yg merawat dan membuat suaminya tampil mempesona.
Kalo kalian ga punya nyali untuk jadi perebut suami orang, atau belum siap ilmu dan iman untuk jadi perempuan lain di tengah keluarga bahagia orang lain..

ada 2 TIPS JITU buat kalian..





Pertama,
Berlapang hatilah menerima kedatangan pria single, sholeh, baik, meski sederhana asal tetap berpenghasilan (ga mesti berpenghasilan tetap), dan BERJUANGLAH bersamanya membangun keluarga bahagia, SAMARA.

Kedua,
BUANG SEMUA KASET DVD Drama KOREA puluhan episode yang selalu menayangkan Pria Kaya, ganteng, putih, imut yang jatuh cinta dengan wanita biasa-biasa dan miskin..!

Ridwan kamil (Walikota Bandung) 2016

Read More..

Merayakan Kekecewaan

Buatku, perayaan terhadap sebuah kekalahan terbaik dalam dunia sepakbola hanyalah milik suporter Irlandia. Stadion Gdansk, Polandia, menjadi saksi bagaimana kehebatan para suporter Irlandia menyublim kekecewaan mereka, akibat tim kesayangan yang diidamkan luluh-lantak dihantam Spanyol dengan skor tertinggal 4-0.

Pertandingan hanya menyisakan tujuh menit lagi, para Suporter Irlandia sepertinya sadar betul bahwa kekuatan memang tidak berimbang. Tim Spanyol yang berisikan materi bintang pemenang Piala Dunia bukan tandingan untuk para pemain nasional mereka. Disana, aku melihat secara utuh bagaimana sebuah kebanggaan dan dukungan diejawantahkan. Bukan hanya dukungan atas segala kemenangan, melainkan dukungan saat harus merasakan pahit dan tangis bersama.

Aku terkesiap tatkala tiba-tiba sebuah folk ballad berjudul The Fields of Athenry berkumandang dari seisi tribun. Bahkan ternyata bukan hanya aku, para suporter Spanyol, hingga komentator pun menghentikan keriuhan. Lagu bernuansa kepedihan itu terus berkumandang, sementara di tengah lapangan bola, para pemain Irlandia masih berjuang sekuat tenaga untuk setidaknya tidak menderita dengan gol tambahan. Sebuah perayaan terhadap kekecewaan yang dikemas dengan sangat elegan.

The Fields of Athenry, folk ballad ciptaan Pete St. John tahun 70-an, memang mengisahkan cerita pilu tentang seorang lelaki bernama Michael, yang terpaksa mencuri jagung demi memberi makan anak-anak dan istrinya akibat krisis pangan yang parah di Irlandia. Malangnya, Michael tertangkap dan dibuang ke Botany Bay, Australia. Kepada Marry, Sang Istri, Michael mengatakan bahwa tak ada yang membahagiakan hatinya, kecuali melihat istrinya itu membesarkan anak-anak mereka dengan penuh martabat.

Demikianlah lagu pilu ini dinyanyikan oleh para suporter Irlandia, sebagai bentuk kebersamaan, atas kegetiran yang menimpa, atas persamaan nasib yang pedih tak terperikan. Meski harus menanggung kekalahan, mereka menyatakan diri untuk saling memapah dalam kebersamaan.

Nun jauh dari Gdansk, aku juga melihat perayaan kekalahan yang sangat menyejukan, bahkan mengharukan, dari seorang lelaki berusia senja. Pak Maridi namanya. Sejatinya ia lelaki istimewa, lelaki satu kampung kami tak ada yang mampu menandinginya dalam soal kehadiran di Surau untuk mendirikan Sholat. Selalu lebih cepat dari yang lain, serta pulang selalu lebih lambat dari jamaah lainnya juga.





Namun memang, tingginya kuantitas dan kualitas ibadah tak serta merta seiring dengan perbaikan pada sisi ekonomi. Begitu juga dengan kondisi keuangan Pak Maridi. Mungkin itu pula ujian dari Allah swt untuknya. Di usia yang menginjak tujuh dasawarsa, hari-harinya diisi dengan bekerja serabutan. Kadang bekerja sebagai kuli bangunan, kadang hanya menjadi buruh di ladang warga untuk sekedar menyiangi rerumputan dan benalu. Kehidupan keluarganya memang tidak dapat dikatakan miris, namun tetap saja, taraf kehidupannya tak bisa dikatakan cukup.

"Kekalahan" Pak Maridi adalah saat Surau kami akan melakukan renovasi. Sejatinya ia berharap dapat dilibatkan dalam pembangunan itu, "minimal liber (pembantu tukang)-lah. Buat membantu biaya dapur," katanya padaku.

Namun apa mau dikata, keputusan rapat pembangunan mengatakan bahwa tukang dan pembantunya dibawa dari luar dengan status borongan. Jadi tidak satu pun yang terlibat dalam proses pembangunan ini dari warga kami, kecuali para Pengurus Surau sebagai pemantau.

Betapa kecewanya Pak Maridi, Surau yang setidaknya lima waktu dalam sehari ia kunjungi, justru para Pengurusnya tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk turut bekerja. Bahkan pernah satu kali aku bertanya kepada Ketua Pembangunan dan memintanya mempekerjakan Pak Maridi. "Terlalu sepuh, Kang. Kasihan," demikian jawabnya.

Ketika hasil usahaku kusampaikan kepada Pak Maridi, ia termangu. Tampak sekali raut kecewa dari wajahnya. Aku menangkap ada luka, sebongkah perasaan tidak puas menguasai dadanya. Ia menunduk bermuram durja.

Aku sedikit menerka-nerka apa yang akan dilakukannya beberapa hari ke depan. Bisa saja kekecewaan membawanya pindah Sholat ke Masjid lain, atau bahkan, bisa jadi ia memilih mundur dari Surau, mendirikan Sholat di rumahnya sendiri, dalam ruang kamarnya yang sepi.

Dugaanku ternyata meleset. Suatu malam menjelang pagi, ketika waktu baru menunjukan pukul 04.15. Kudengar lapat lantunan bacaan Al Qur'an diperdengarkan. Rasa kepenasaranku memuncak, bergegas aku menuju Surau, kujumpai Pak Maridi sedang bersila menghadap mushaf Al Qur'an yang diletakan di atas meja.

"Gasik (cepat datang), Pak," ucapku berbasa basi setelah ia mengakhiri bacaannya.

"Iyo, Kang. Semoga bisa bersyukur atas nikmat Allah swt," ungkapnya.

Aku termenung. Bukankah baru kemarin sore lelaki ini merasakan "luka" yang teramat dalam? Bukankah baru kemarin sore ia merasakan "kekalahan" yang mengecewakan? Ah, sepagi ini dia sudah hadir di Surau, berkata tentang syukur pula kepada Allah swt.

Luar biasa! Pak Maridi bagiku merupakan orang yang sangat cerdas dalam merayakan sebuah kekecewaan. Ia menyublim segala getir jiwanya ke dalam dzikir-dzikir panjang. Ia mengobati luka hatinya dalam balut lantunan Al Qur'an. Tak ada kalimat satir dari mulutnya, tak ada tindakan emosional yang ia tunjukan. Pak Maridi, lelaki kecil itu menjelma menjadi besar di hadapanku. Bukan besar dalam arti ragawi, melainkan besar dalam bentuk jiwa yang terang dan tenang.

Perlahan, kembali dalam ingatanku koor panjang The Fields of Athenry di Gdansk Stadium dari para suporter Irlandia. Disini, di tanahku, aku menemukan persamaannya. Sebuah persamaan tentang bagaimana cara merayakan kekecewaan.

Lapat tergurat dalam ingatanku sebait syair berbunyi, "Low lie the fields of athenry, where once we watched the small free birds fly, Our love was on the wing, We had dreams and songs to sing, It's so lonely round the fields of athenry.... ". Sebuah syair tentang pesan terakhir Michael kepada anak dan istrinya, syair pilu... The Fields of Athenry yang kini lekat dalam bayang Pak Maridi. (*)

**
TULISAN Kang Ewa
Petropolis, 30 Desember 2015

Read More..

Hati yang Menginginkan Kebaikan

Hari itu saya bermaksud belanja keperluan pribadi di swalayan de depan gerbang perumahan. Setelah mengambil segala barang yang saya butuhkan ,saya pun buru buru menuju antrian di kasir . Di depan saya ada seorang anak muda berpenampilan rada sangar dan di depan anak muda itu ada seorang ibu ibu berpenampilan sederhana dengan 2 orang anaknya yang sedang menghitung belanjaan mereka di kasir.

"Total seluruhnya 145 ribu bu", kata si neng penjaga kasir tersenyum ramah setelah menjumlahkan seluruh barang belanjaan si ibu . Ibu itu segera membuka dompetnya... uangnya recehan semua dan sedikit lusuh, lalu dia menghitungnya satu persatu dengan wajah tertunduk . Kedua anaknya berdiri memperhatikan ibu mereka sambil sesekali memegang tangannya, keduanya terlihat tidak sabar . Antrian di swalayan-pun semakin panjang, maklum tanggal muda...

Saya lihat wajah si ibu pucat pasi ... terlihat jelas ia kebingungan sebab ternyata uang yang ada di dompetnya kurang. Ia mulai berfikir untuk mengembalikan sebagian barang belanjaan yang diambilnya... seketika tiba-tiba saja... anak muda di depan saya membungkuk sambil memungut uang 50 ribuan yg ada di lantai dan menyodorkannya ke pada ibu itu :

"Hati-hati bu, hati hati kalau menghitung uang... ini ada selembar uang ibu yang jatuh", Si ibu yang bengong seperti tak percaya... dengan tangan bergetar mengambil dan menerima uang itu... dengan tatapan mata penuh syukur ia memandang pada si anak muda tsb.





Setelah membayar di kasir dengan gembira kedua anaknya menenteng kantong plastik belanjaan berlalu pergi. Anak muda itu membayar belanjaannya kemudian ia juga segera pergi... saya kejar sambil tergesa-gesa menyusul dia... setelah bertemu Saya berkata, "Dek saya tahu... tadi kamu dengan sengaja menjatuhkan uang 50 rebuan milikmu... buat kamu kasihkan sama si ibu yang tadi itu... saya melihat karena saya berada tepat di belakang kamu... demi ALLAH saya bertanya, bagaimana kamu bisa mendapat ide itu ?"

Anak muda itu dengan santun menjawab, "ALLAH lah yang mengilhamkan itu pada saya pak... saya tidak ingin si ibu itu malu dihadapan kita dan anak-anak nya... karena itu ALLAH menggerakkan hati saya untuk spontan mengerjakan apa yang bapak lihat".

Subhanallah... ternyata bila hati menginginkan kebaikan... ALLAH akan membantu hamba NYA melakukan kebaikan itu... sungguh... kebaikan itu hanya mudah dilakukan bagi orang yang memang menginginkannya.... seperti firman ALLAH

فأما من أعطى و اتقى وصدق بالحسنى فسنيسره لليسرى

Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” [QS.Al-Lail: 5-7]

status seorang teman
Read More..

Carry atau Camry

Saya lupa bagaimana mengeja namanya. Pak Ngapuwan atau pak Ngapuan. Beliau adalah satu-satunya guru agama di SD saya dulu. SD negeri kecil, dengan empat ruang kelas yang dipakai bergantian. SD tanpa fasilitas lapangan, berdiri di seberang pabrik kacang-tempat kami mengais kacang mentah yang masih layak dikudap. Usia beliau saat itu mungkin seusia saya sekarang, empat puluh tahunan lebih.

Pak Ngapuwan, saya ingat, tiap hari ber-"sepeda onthel" Fongers -kami menjulukinya "pit kebo", rambutnya selalu tersisir rapi dengan wangi tancho dan baju model safari yang di bagian sakunya terlihat menghitam : mungkin akibat sering tergosok tangan yang berkeringat. Saya curiga, dalam kebersahajaannya beliau memang tak memikirkan memiliki banyak baju safari untuk dinas mengajar. Mengingat SD kecil ini dulu hanya punya 1 orang guru agama Islam, pak Ngapuwan mengajar saya dari kelas 1 hingga kelas 6.

Suatu kali, saya dan beberapa teman, diminta beliau datang ke rumahnya. Posisinya di atas semacam bukit, yang saya bisa bayangkan beliau akan kesusahan menuntun sepeda ke atasnya. Bukan rumah mewah, hanya rumah biasa di kampung yang padat. Harta yang kelihatan sangat berharga saya lihat hanya setumpuk kitab, di lemari yang berfungsi rangkap sebagai lemari buku, lemari pajangan dan juga menyimpan segala pernik seperti kacamata, alat menjahit sekedarnya dan beberapa "vandel" (plakat dari kain).

Saat itu beliau bernasehat, sambil "menyuapkan" nasi aking pada ayam-ayam peliharaannya,"Nanti kalian bila sudah besar, hiduplah "sak dermo". Kalau nanti kalian bisa kaya, itu bagus. Jangan menjadi fakir, karena fakir itu dekat dengan kufur. Menjadilah kaya yang bermanfaat. Sak dermo. Tanda hidup sak dermo itu sederhana : saat kalian selalu cukup punya waktu yang berguna. Bila hidupmu nanti sudah serasa dikejar waktu, itu artinya kamu sudah "hidup ngoyo".

Lama sekali setelah itu, tak terdengar kabar pak Ngapuwan. Belakangan kami dengar beliau tetap mengajar agama di SD sederhana kami, hingga akhir hayat.

Belakangan setelah kami lulus SD, berjuang hidup menjadi manusia beneran. Kami mulai tahu apa itu arti hidup sak dermo dan hidup ngoyo. Sak dermo, saya terjemahkan sebagaimana mobil Carry. Dia minim fitur tapi fungsional, tak perlu jok kulit tapi bisa diduduki. Bila gerah tak perlu menyalakan AC, cukup buka jendela. Saya jadi teringat, rumah pak Ngapuwan yang selalu gerah menekan (maklum, di kota Semarang) dan beliau menyiasatinya cukup dengan melepas baju dan hanya sarungan berkaos oblong. Fungsional, tidak ngoyo.

Pak Ngapuwan, jaman itu belum ada Carry atau Camry. Tapi nasehatnya melampaui rancangan manusia itu. Semoga beliau mendapat terbaik di sisi Nya.

Sumber Wall FB seorang teman

Read More..

Unta dan Anaknya

Suatu hari seekor unta betina dan anaknya sedang bercengkrama tatkala anak bertanya kepada ibunya, "Ibu, bolehkan aku bertanya sesuatu?"

"Tentu anakku! Adakah sesuatu yang mengganggumu?", tanya ibunya.
Si anak bertanya, "Ibu, mengapa kita memiliki punuk?"
"Oh itu karena kita adalah hewan gurun, kita memerlukan punuk untuk menyimpan air sebagai cadangan ketika ada di padang pasir".

"Oh begitu, lalu kenapa kaki kita panjang dan bulat?"
"Itu untuk mempermudah kita berjalan di padang pasir. Dengan kaki seperti itu kita bisa bergerak dengan lebih baik dibanding hewan lainnya".

"Lalu mengapa kita memiliki bulu mata yang panjang? Sangat mengganggu penglihatan ibu".
Sang ibu menjawab dengan tegas dan bangga bahwa jawabannya bisa memuaskan keingintahuan anaknya, "Anakku, bulu mata yang panjang itu unuk melindungi mata kita dari debu dan pasir. Bagaimana anakku, apakah masih ada yang ingin kau ketahui?"





Si anak terdiam sementara sambil berpikir sesuatu. Tak lama kemudian ia setengah berteriak berkata pada ibunya, "Satu lagi ibu, punuk untuk menyimpan air saat kita di padang pasir, kaki untuk berjalan di padang pasir dan bulu mata untuk melinduni dari pasir dan debu padang pasir, lalu mengapa kita harus memilikinya? Bukankah kita saat ini ada di kebun binatang!?"

Pesan moral: Keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan pengalaman hanya berguna jika Anda berada di tempat yang tepat.


Read More..

Untuk Para Istri

Wahai para Istri sholihah....

Sesekali saat suamimu pulang kerja atau kembali dari tempat usahanya, pandanglah wajahnya.
Cium tangannya. Itulah tangan yang bekerja keras mencari rezeki untuk memberi nafkah dirimu. Padahal, sebelum akad nikah, ia tak punya hutang budi sama sekali kepadamu.


Sesekali saat kau sendiri, ingat-ingatlah wajahnya.
Itulah wajah orang yang mungkin turut diseret ke neraka jika dirimu melakukan maksiat. Sebab, ia turut bertanggung jawab atas agama dan akhlakmu. Padahal, sebelumnya lelaki itu tak mengenalmu.

Sesekali saat kau berdua dengannya, lihatlah suamimu dengan tatapan sayang.
Itulah pribadi yang boleh jadi selalu berusaha menutupi masalah-masalahnya di luar rumah, agar kau tak turut sedih karenanya.
Ia berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri, agar kau tak ikut terbebani.

Sementara, kau sering mengadukan masalahmu kepadanya, berharap ia mau mengerti dan memberi solusi.

Padahal, bisa jadi saat itu masalahnya lebih besar daripada masalahmu. Namun, dirimu tetap diutamakannya.





Ingatkah doa yang dulu ia ucapkan saat pertama kali kalian shalat bersama?
Di malam pengantin itu, saat tangan suamimu gemetar memegang ubun-ubunmu, ia membaca, “Allahumma inni as`aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a’udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi.

Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.”

Sudahkah kebaikan-kebaikanmu kau bawa untuknya?

Untuk para istri solihah, jadikan baktimu kepada suami sepenuh air di samudera, agar berbalas ridha dan cinta Sang Maha Pencipta. Ikhlaskan baktimu karena Allah.

Berusahalah dengan cara yang terbaik. Lakukanlah untuk mendapatkan ridha suamimu, agar Allah pun ridha terhadapmu.

“Jika seorang wanita menegakkan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kesuciannya dan mematuhi suaminya maka akan dikatakan kepadanya (di Hari Pengadilan), ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu sukai!’”(HR. Ahmad)
Read More..

Bila Allah Menghendaki

Dalam Khutbah Jum'at di sebuah kota kecil, seorang khotib berbicara tentang pentingnya mengatakan "In Shaa Allah" (yang berarti Bila Allah Menghendaki) ketika merencanakan untuk melakukan sesuatu di masa depan.

Setelah beberapa hari, seorang pria yang juga menghadiri Khutbah bermaksud akan membeli seekor sapi dari pasar. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang teman yang kemudian bertanya kemana ia pergi. Dia bercerita bahwa ia akan membeli sapi tetapi tidak mengatakan Insya Allah. Temannya mengingatkannya tentang Khutbah dan menyuruhnya mengatakan In Shaa Allah. Namun, pria ini mengatakan bahwa ia memiliki uang yang cukup dan tenaga untuk pergi ke pasar, dengan demikian, tidak ada gunanya mengatakan In Shaa Allah karena ia pasti akan membeli sapi. Dia berpikir bahwa mengatakan In Shaa Allah atau tidak maka tidak akan ada bedanya.

Ketika sampai pasar, ia menemukan sapi yang memenuhi harapan nya. Diapun melakukan tawar-menawar dengan penjual dan sampailah kesepakatan pada harga yang wajar. Akhirnya, ia memutuskan untuk membayar sapi tersebut. Tapi tercenganglah ia ketika menyadari bahwa semua uangnya hilang. Seorang copet telah mencuri uang saat ia sedang berjalan melalui pasar yang sibuk.





Penjual sapi bertanya kepadanya apakah ia akan membeli sapi atau tidak. "In Shaa Allah, saya akan membelinya minggu depan," katanya.

Ketika sampai di rumah, istrinya bertanya tentang sapi yang bermaksud ia beli. Dan dia bercerita tentang bagaimana ia lupa mengatakan In Shaa Allah,dan juga menambahkan, "In Shaa Allah, saya ingin membeli sapi. Tapi In Shaa Allah, uang saya dicuri. In Shaa Allah, saya akan membelinya minggu depan."

Sembari bercerita, istrinya selalu menekankan kepadanya bahwa kami harus mengatakan In Shaa Allah untuk hal-hal yang belum terjadi, bukan untuk hal-hal yang sudah terjadi.

Kejadian ini diceritakan oleh Shaikh Wahidullah dari Toronto, Kanada.

Read More..

Hutang Kepada Anak-Anak Kita

Kita selalu berhutang banyak cinta kepada anak-anak. Tidak jarang, kita memarahi mereka saat kita lelah. Kita membentak mereka padahal mereka belum benar-benar paham kesalahan yang mereka lakukan. Kita membuat mereka menangis karena kita ingin lebih dimengerti dan didengarkan. Tetapi seburuk apapun kita memperlakukan mereka, segalak apapun kita kepada mereka, semarah apapun kita pernah membentak mereka... Mereka akan tetap mendatangi kita dengan senyum kecilnya, menghibur kita dengan tawa kecilnya, menggenggam tangan kita dengan tangan kecilnya... Seolah semuanya baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya... Mereka selalu punya banyak cinta untuk kita, meski seringkali kita tak membalas cinta mereka dengan cukup.

Kita selalu berhutang banyak kebahagiaan untuk anak-anak kita. Kita bilang kita bekerja keras demi kebahagiaan mereka, tetapi kenyataannya merekalah yang justru membahagiakan kita dalam lelah di sisa waktu dan tenaga kita. Kita merasa bahwa kita bisa menghibur kesedihan mereka atau menghapus air mata dari pipi-pipi kecil mereka, tetapi sebenarnya kitalah yang selalu mereka bahagiakan... Merekalah yang selalu berhasil membuang kesedihan kita, melapangkan kepenatan kita, menghapus air mata kita.

Kita selalu berhutang banyak waktu tentang anak-anak kita. Dalam 24 jam, berapa lama waktu yang kita miliki untuk berbicara, mendengarkan, memeluk, mendekap, dan bermain dengan mereka? Dari waktu hidup kita bersama mereka, seberapa keras kita bekerja untuk menghadirkan kebahagiaan sesungguhnya di hari-hari mereka, melukis senyum sejati di wajah mungil mereka?





Tentang anak-anak, sesungguhnya merekalah yang selalu lebih dewasa dan bijaksana daripada kita. Merekalah yang selalu mengajari dan membimbing kita menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Seburuk apapun kita sebagai orangtua, mereka selalu siap kapan saja untuk menjadi anak-anak terbaik yang pernah kita punya.

Kita selalu berhutang kepada anak-anak kita... Anak-anak yang setiap hari menjadi korban dari betapa buruknya cara kita mengelola emosi. Anak-anak yang terbakar residu ketidakbecusan kita saat mencoba menjadi manusia dewasa. Anak-anak yang menanggung konsekuensi dari nasib buruk yang setiap hari kita buat sendiri. Anak-anak yang barangkali masa depannya terkorbankan gara-gara kita tak bisa merancang masa depan kita sendiri.

... Tetapi mereka tetap tersenyum, mereka tetap memberi kita banyak cinta, mereka selalu mencoba membuat kita bahagia.

Maka dekaplah anak-anakmu, tataplah mata mereka dengan kasih sayang dan penyesalan, katakan kepada mereka, "Maafkan untuk hutang-hutang yang belum terbayarkan... Maafkan jika semua hutang ini telah membuat Tuhan tak berkenan. Maafkan karena hanya pemaafan dan kebahagiaan kalianlah yang bisa membuat hidup ayah dan ibu lebih baik dari sebelumnya... Lebih baik dari sebelumnya."

Fahd Pahdepie
Sydney 2015
Read More..

Tempat Duduk untuk Ibu

Sudah seperempat jam perjalanan, namun ibu belum juga mendapat tempat duduk. Sejak ibu naik Commuterline dari Stasiun Bekasi.

Mengapa tak ada satupun penumpang yang terketuk hatinya. Ibu memang belum terlihat seperti nenek-nenek renta. Mungkin itu sebab belum ada penumpang yang mau memberinya tempat duduk. Tapi tidak adakah satupun penumpang yang merasa iba melihat seorang ibu harus berdiri lama di atas kereta?

Kalau saja aku menemaninya, pasti ibu sudah duduk manis. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Langkah kakiku sudah mendekati Stasiun Depok Baru ketika pesan dari ibu menyapa telepon genggamku.

"Pagi ini ibu mau ke Depok. Ibu kangen sama Panji. Sekarang ibu sudah naik angkot, sebentar lagi sampai di stasiun Bekasi."

Begitulah ibu, kalau sudah kangen cucunya, ia tak mau menunggu. Kalau saja ibu mau menunda rencana hingga Sabtu atau Minggu nanti, agar aku bisa menjemputnya atau ayah punya waktu menemaninya. Pasti ayah sudah berusaha mencegah, sebab ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja.

"Ibu hati-hati ya. Jangan lupa nanti turun di Manggarai terus naik KRL jurusan Bogor/Depok di jalur enam. Oh iya, hape Ibu jangan dimatikan ya."





Kereta Commuterline yang membawa ibu sudah sampai di stasiun Jatinegara. Namun nasib baik belum menghampirinya. Belum satupun penumpang yang bermurah hati memberinya tempat duduk. Apakah kepedulian sudah menjadi barang langka di belantara ibukota?

Menjelang stasiun Pasar Minggu, KRL Commuterline yang kunaiki melambatkan lajunya. Ketika hendak menengok keluar, mataku beradu pandang dengan seorang penumpang. Sesosok perempuan seumuran dengan ibu tersenyum kepadaku. Entah sudah berapa lama ibu ini berdiri di depanku.

Di saat aku berharap ada penumpang peduli pada ibu, ternyata aku juga mengabaikan seorang ibu. Seketika kulepas earphone yang menyumpal telingaku. Aku langsung berdiri dan memberikan tempat dudukku padanya.

"Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu."

Saat aku menganggukkan kepala, telepon genggamku bergetar. Suara ibu terdengar di sela-sela derak kereta.

"Sekarang ibu sudah naik KRL tujuan Bogor. Alhamdulillah, ada yang memberi ibu tempat duduk, seorang lelaki seumuran kamu."

Ibu yang duduk di hadapanku kembali tersenyum. Entah mengapa tiba-tiba mataku terasa basah.

Depok - Cawang, 3 Februari 2015

Status Setiyo Bardono di Group KRL Mania

Read More..

Anak yang Bod*h

Cerita ini berhubungan adalah cerita tentang seorang anak yang dianggap "bodoh".

Tersebutlah seorang saudagar di Pakistan dengan kekayaan yang luar biasa. Dia adalah seorang pedagang sekaligus tuan tanah. Namun, orang itu memiliki seorang putra yang dianggapnya memiliki kecerdasan yang rendah. Sementara orang-orang menyebutnya anak bodoh.


Suatu hari, saudagar kaya tersebut menyuruh anaknyanya untuk membuat teh untuknya. Karena kebodohannya, anak tersebut membuat beberapa teh dan membawanya agar ayahnya dapat memilih salah satu. Sang ayah mengambil satu tegukan dari cangkir dan dengan terkejut merasakan bahwa teh itu sangat lezat. Ia meminta anaknya bercerita tentang bagaimana teh itu dibuat.





Anaknya mengatakan bahwa "Aku pergi ke halaman belakang untuk mencari kayu bakar. Tapi, karena hujan, semua kayu basah. Jadi, aku pergi ke tempat di mana Ayah menyimpan uang dan mengambil banyak uang tunai. Kemudian aku membakar semua uang kertas untuk membuat teh."

Teh yang awalnya terasa sangat enak, seketika itu juga terasa seperti racun.

Dari cerita ini kita umumnya akan berpikir bahwa anak ini benar-benar bodoh. Mengapa? Karena dia membakar uang hanya untuk membuat secangkir teh.

Kenyataannya, banyak orang yang lebih bodoh dari anak itu, yang membakar kehidupan abadi di akhirat hanya untuk hidup yang pendek (di dunia) ini.

Yang paling bijaksana dari semua itu adalah orang yang mengingat kematian lebih sering dan mempersiapkan untuk itu.

Read More..