Hati yang Menginginkan Kebaikan

Hari itu saya bermaksud belanja keperluan pribadi di swalayan de depan gerbang perumahan. Setelah mengambil segala barang yang saya butuhkan ,saya pun buru buru menuju antrian di kasir . Di depan saya ada seorang anak muda berpenampilan rada sangar dan di depan anak muda itu ada seorang ibu ibu berpenampilan sederhana dengan 2 orang anaknya yang sedang menghitung belanjaan mereka di kasir.

"Total seluruhnya 145 ribu bu", kata si neng penjaga kasir tersenyum ramah setelah menjumlahkan seluruh barang belanjaan si ibu . Ibu itu segera membuka dompetnya... uangnya recehan semua dan sedikit lusuh, lalu dia menghitungnya satu persatu dengan wajah tertunduk . Kedua anaknya berdiri memperhatikan ibu mereka sambil sesekali memegang tangannya, keduanya terlihat tidak sabar . Antrian di swalayan-pun semakin panjang, maklum tanggal muda...

Saya lihat wajah si ibu pucat pasi ... terlihat jelas ia kebingungan sebab ternyata uang yang ada di dompetnya kurang. Ia mulai berfikir untuk mengembalikan sebagian barang belanjaan yang diambilnya... seketika tiba-tiba saja... anak muda di depan saya membungkuk sambil memungut uang 50 ribuan yg ada di lantai dan menyodorkannya ke pada ibu itu :

"Hati-hati bu, hati hati kalau menghitung uang... ini ada selembar uang ibu yang jatuh", Si ibu yang bengong seperti tak percaya... dengan tangan bergetar mengambil dan menerima uang itu... dengan tatapan mata penuh syukur ia memandang pada si anak muda tsb.





Setelah membayar di kasir dengan gembira kedua anaknya menenteng kantong plastik belanjaan berlalu pergi. Anak muda itu membayar belanjaannya kemudian ia juga segera pergi... saya kejar sambil tergesa-gesa menyusul dia... setelah bertemu Saya berkata, "Dek saya tahu... tadi kamu dengan sengaja menjatuhkan uang 50 rebuan milikmu... buat kamu kasihkan sama si ibu yang tadi itu... saya melihat karena saya berada tepat di belakang kamu... demi ALLAH saya bertanya, bagaimana kamu bisa mendapat ide itu ?"

Anak muda itu dengan santun menjawab, "ALLAH lah yang mengilhamkan itu pada saya pak... saya tidak ingin si ibu itu malu dihadapan kita dan anak-anak nya... karena itu ALLAH menggerakkan hati saya untuk spontan mengerjakan apa yang bapak lihat".

Subhanallah... ternyata bila hati menginginkan kebaikan... ALLAH akan membantu hamba NYA melakukan kebaikan itu... sungguh... kebaikan itu hanya mudah dilakukan bagi orang yang memang menginginkannya.... seperti firman ALLAH

فأما من أعطى و اتقى وصدق بالحسنى فسنيسره لليسرى

Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertaqwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” [QS.Al-Lail: 5-7]

status seorang teman
Read More..

Carry atau Camry

Saya lupa bagaimana mengeja namanya. Pak Ngapuwan atau pak Ngapuan. Beliau adalah satu-satunya guru agama di SD saya dulu. SD negeri kecil, dengan empat ruang kelas yang dipakai bergantian. SD tanpa fasilitas lapangan, berdiri di seberang pabrik kacang-tempat kami mengais kacang mentah yang masih layak dikudap. Usia beliau saat itu mungkin seusia saya sekarang, empat puluh tahunan lebih.

Pak Ngapuwan, saya ingat, tiap hari ber-"sepeda onthel" Fongers -kami menjulukinya "pit kebo", rambutnya selalu tersisir rapi dengan wangi tancho dan baju model safari yang di bagian sakunya terlihat menghitam : mungkin akibat sering tergosok tangan yang berkeringat. Saya curiga, dalam kebersahajaannya beliau memang tak memikirkan memiliki banyak baju safari untuk dinas mengajar. Mengingat SD kecil ini dulu hanya punya 1 orang guru agama Islam, pak Ngapuwan mengajar saya dari kelas 1 hingga kelas 6.

Suatu kali, saya dan beberapa teman, diminta beliau datang ke rumahnya. Posisinya di atas semacam bukit, yang saya bisa bayangkan beliau akan kesusahan menuntun sepeda ke atasnya. Bukan rumah mewah, hanya rumah biasa di kampung yang padat. Harta yang kelihatan sangat berharga saya lihat hanya setumpuk kitab, di lemari yang berfungsi rangkap sebagai lemari buku, lemari pajangan dan juga menyimpan segala pernik seperti kacamata, alat menjahit sekedarnya dan beberapa "vandel" (plakat dari kain).

Saat itu beliau bernasehat, sambil "menyuapkan" nasi aking pada ayam-ayam peliharaannya,"Nanti kalian bila sudah besar, hiduplah "sak dermo". Kalau nanti kalian bisa kaya, itu bagus. Jangan menjadi fakir, karena fakir itu dekat dengan kufur. Menjadilah kaya yang bermanfaat. Sak dermo. Tanda hidup sak dermo itu sederhana : saat kalian selalu cukup punya waktu yang berguna. Bila hidupmu nanti sudah serasa dikejar waktu, itu artinya kamu sudah "hidup ngoyo".

Lama sekali setelah itu, tak terdengar kabar pak Ngapuwan. Belakangan kami dengar beliau tetap mengajar agama di SD sederhana kami, hingga akhir hayat.

Belakangan setelah kami lulus SD, berjuang hidup menjadi manusia beneran. Kami mulai tahu apa itu arti hidup sak dermo dan hidup ngoyo. Sak dermo, saya terjemahkan sebagaimana mobil Carry. Dia minim fitur tapi fungsional, tak perlu jok kulit tapi bisa diduduki. Bila gerah tak perlu menyalakan AC, cukup buka jendela. Saya jadi teringat, rumah pak Ngapuwan yang selalu gerah menekan (maklum, di kota Semarang) dan beliau menyiasatinya cukup dengan melepas baju dan hanya sarungan berkaos oblong. Fungsional, tidak ngoyo.

Pak Ngapuwan, jaman itu belum ada Carry atau Camry. Tapi nasehatnya melampaui rancangan manusia itu. Semoga beliau mendapat terbaik di sisi Nya.

Sumber Wall FB seorang teman

Read More..

Unta dan Anaknya

Suatu hari seekor unta betina dan anaknya sedang bercengkrama tatkala anak bertanya kepada ibunya, "Ibu, bolehkan aku bertanya sesuatu?"

"Tentu anakku! Adakah sesuatu yang mengganggumu?", tanya ibunya.
Si anak bertanya, "Ibu, mengapa kita memiliki punuk?"
"Oh itu karena kita adalah hewan gurun, kita memerlukan punuk untuk menyimpan air sebagai cadangan ketika ada di padang pasir".

"Oh begitu, lalu kenapa kaki kita panjang dan bulat?"
"Itu untuk mempermudah kita berjalan di padang pasir. Dengan kaki seperti itu kita bisa bergerak dengan lebih baik dibanding hewan lainnya".

"Lalu mengapa kita memiliki bulu mata yang panjang? Sangat mengganggu penglihatan ibu".
Sang ibu menjawab dengan tegas dan bangga bahwa jawabannya bisa memuaskan keingintahuan anaknya, "Anakku, bulu mata yang panjang itu unuk melindungi mata kita dari debu dan pasir. Bagaimana anakku, apakah masih ada yang ingin kau ketahui?"





Si anak terdiam sementara sambil berpikir sesuatu. Tak lama kemudian ia setengah berteriak berkata pada ibunya, "Satu lagi ibu, punuk untuk menyimpan air saat kita di padang pasir, kaki untuk berjalan di padang pasir dan bulu mata untuk melinduni dari pasir dan debu padang pasir, lalu mengapa kita harus memilikinya? Bukankah kita saat ini ada di kebun binatang!?"

Pesan moral: Keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan pengalaman hanya berguna jika Anda berada di tempat yang tepat.


Read More..

Untuk Para Istri

Wahai para Istri sholihah....

Sesekali saat suamimu pulang kerja atau kembali dari tempat usahanya, pandanglah wajahnya.
Cium tangannya. Itulah tangan yang bekerja keras mencari rezeki untuk memberi nafkah dirimu. Padahal, sebelum akad nikah, ia tak punya hutang budi sama sekali kepadamu.


Sesekali saat kau sendiri, ingat-ingatlah wajahnya.
Itulah wajah orang yang mungkin turut diseret ke neraka jika dirimu melakukan maksiat. Sebab, ia turut bertanggung jawab atas agama dan akhlakmu. Padahal, sebelumnya lelaki itu tak mengenalmu.

Sesekali saat kau berdua dengannya, lihatlah suamimu dengan tatapan sayang.
Itulah pribadi yang boleh jadi selalu berusaha menutupi masalah-masalahnya di luar rumah, agar kau tak turut sedih karenanya.
Ia berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri, agar kau tak ikut terbebani.

Sementara, kau sering mengadukan masalahmu kepadanya, berharap ia mau mengerti dan memberi solusi.

Padahal, bisa jadi saat itu masalahnya lebih besar daripada masalahmu. Namun, dirimu tetap diutamakannya.





Ingatkah doa yang dulu ia ucapkan saat pertama kali kalian shalat bersama?
Di malam pengantin itu, saat tangan suamimu gemetar memegang ubun-ubunmu, ia membaca, “Allahumma inni as`aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha ‘alaihi wa a’udzu bika min syarriha wa min syarri ma jabaltaha ‘alaihi.

Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiat yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.”

Sudahkah kebaikan-kebaikanmu kau bawa untuknya?

Untuk para istri solihah, jadikan baktimu kepada suami sepenuh air di samudera, agar berbalas ridha dan cinta Sang Maha Pencipta. Ikhlaskan baktimu karena Allah.

Berusahalah dengan cara yang terbaik. Lakukanlah untuk mendapatkan ridha suamimu, agar Allah pun ridha terhadapmu.

“Jika seorang wanita menegakkan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kesuciannya dan mematuhi suaminya maka akan dikatakan kepadanya (di Hari Pengadilan), ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu sukai!’”(HR. Ahmad)
Read More..

Bila Allah Menghendaki

Dalam Khutbah Jum'at di sebuah kota kecil, seorang khotib berbicara tentang pentingnya mengatakan "In Shaa Allah" (yang berarti Bila Allah Menghendaki) ketika merencanakan untuk melakukan sesuatu di masa depan.

Setelah beberapa hari, seorang pria yang juga menghadiri Khutbah bermaksud akan membeli seekor sapi dari pasar. Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang teman yang kemudian bertanya kemana ia pergi. Dia bercerita bahwa ia akan membeli sapi tetapi tidak mengatakan Insya Allah. Temannya mengingatkannya tentang Khutbah dan menyuruhnya mengatakan In Shaa Allah. Namun, pria ini mengatakan bahwa ia memiliki uang yang cukup dan tenaga untuk pergi ke pasar, dengan demikian, tidak ada gunanya mengatakan In Shaa Allah karena ia pasti akan membeli sapi. Dia berpikir bahwa mengatakan In Shaa Allah atau tidak maka tidak akan ada bedanya.

Ketika sampai pasar, ia menemukan sapi yang memenuhi harapan nya. Diapun melakukan tawar-menawar dengan penjual dan sampailah kesepakatan pada harga yang wajar. Akhirnya, ia memutuskan untuk membayar sapi tersebut. Tapi tercenganglah ia ketika menyadari bahwa semua uangnya hilang. Seorang copet telah mencuri uang saat ia sedang berjalan melalui pasar yang sibuk.





Penjual sapi bertanya kepadanya apakah ia akan membeli sapi atau tidak. "In Shaa Allah, saya akan membelinya minggu depan," katanya.

Ketika sampai di rumah, istrinya bertanya tentang sapi yang bermaksud ia beli. Dan dia bercerita tentang bagaimana ia lupa mengatakan In Shaa Allah,dan juga menambahkan, "In Shaa Allah, saya ingin membeli sapi. Tapi In Shaa Allah, uang saya dicuri. In Shaa Allah, saya akan membelinya minggu depan."

Sembari bercerita, istrinya selalu menekankan kepadanya bahwa kami harus mengatakan In Shaa Allah untuk hal-hal yang belum terjadi, bukan untuk hal-hal yang sudah terjadi.

Kejadian ini diceritakan oleh Shaikh Wahidullah dari Toronto, Kanada.

Read More..

Hutang Kepada Anak-Anak Kita

Kita selalu berhutang banyak cinta kepada anak-anak. Tidak jarang, kita memarahi mereka saat kita lelah. Kita membentak mereka padahal mereka belum benar-benar paham kesalahan yang mereka lakukan. Kita membuat mereka menangis karena kita ingin lebih dimengerti dan didengarkan. Tetapi seburuk apapun kita memperlakukan mereka, segalak apapun kita kepada mereka, semarah apapun kita pernah membentak mereka... Mereka akan tetap mendatangi kita dengan senyum kecilnya, menghibur kita dengan tawa kecilnya, menggenggam tangan kita dengan tangan kecilnya... Seolah semuanya baik-baik saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya... Mereka selalu punya banyak cinta untuk kita, meski seringkali kita tak membalas cinta mereka dengan cukup.

Kita selalu berhutang banyak kebahagiaan untuk anak-anak kita. Kita bilang kita bekerja keras demi kebahagiaan mereka, tetapi kenyataannya merekalah yang justru membahagiakan kita dalam lelah di sisa waktu dan tenaga kita. Kita merasa bahwa kita bisa menghibur kesedihan mereka atau menghapus air mata dari pipi-pipi kecil mereka, tetapi sebenarnya kitalah yang selalu mereka bahagiakan... Merekalah yang selalu berhasil membuang kesedihan kita, melapangkan kepenatan kita, menghapus air mata kita.

Kita selalu berhutang banyak waktu tentang anak-anak kita. Dalam 24 jam, berapa lama waktu yang kita miliki untuk berbicara, mendengarkan, memeluk, mendekap, dan bermain dengan mereka? Dari waktu hidup kita bersama mereka, seberapa keras kita bekerja untuk menghadirkan kebahagiaan sesungguhnya di hari-hari mereka, melukis senyum sejati di wajah mungil mereka?





Tentang anak-anak, sesungguhnya merekalah yang selalu lebih dewasa dan bijaksana daripada kita. Merekalah yang selalu mengajari dan membimbing kita menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya. Seburuk apapun kita sebagai orangtua, mereka selalu siap kapan saja untuk menjadi anak-anak terbaik yang pernah kita punya.

Kita selalu berhutang kepada anak-anak kita... Anak-anak yang setiap hari menjadi korban dari betapa buruknya cara kita mengelola emosi. Anak-anak yang terbakar residu ketidakbecusan kita saat mencoba menjadi manusia dewasa. Anak-anak yang menanggung konsekuensi dari nasib buruk yang setiap hari kita buat sendiri. Anak-anak yang barangkali masa depannya terkorbankan gara-gara kita tak bisa merancang masa depan kita sendiri.

... Tetapi mereka tetap tersenyum, mereka tetap memberi kita banyak cinta, mereka selalu mencoba membuat kita bahagia.

Maka dekaplah anak-anakmu, tataplah mata mereka dengan kasih sayang dan penyesalan, katakan kepada mereka, "Maafkan untuk hutang-hutang yang belum terbayarkan... Maafkan jika semua hutang ini telah membuat Tuhan tak berkenan. Maafkan karena hanya pemaafan dan kebahagiaan kalianlah yang bisa membuat hidup ayah dan ibu lebih baik dari sebelumnya... Lebih baik dari sebelumnya."

Fahd Pahdepie
Sydney 2015
Read More..

Tempat Duduk untuk Ibu

Sudah seperempat jam perjalanan, namun ibu belum juga mendapat tempat duduk. Sejak ibu naik Commuterline dari Stasiun Bekasi.

Mengapa tak ada satupun penumpang yang terketuk hatinya. Ibu memang belum terlihat seperti nenek-nenek renta. Mungkin itu sebab belum ada penumpang yang mau memberinya tempat duduk. Tapi tidak adakah satupun penumpang yang merasa iba melihat seorang ibu harus berdiri lama di atas kereta?

Kalau saja aku menemaninya, pasti ibu sudah duduk manis. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Langkah kakiku sudah mendekati Stasiun Depok Baru ketika pesan dari ibu menyapa telepon genggamku.

"Pagi ini ibu mau ke Depok. Ibu kangen sama Panji. Sekarang ibu sudah naik angkot, sebentar lagi sampai di stasiun Bekasi."

Begitulah ibu, kalau sudah kangen cucunya, ia tak mau menunggu. Kalau saja ibu mau menunda rencana hingga Sabtu atau Minggu nanti, agar aku bisa menjemputnya atau ayah punya waktu menemaninya. Pasti ayah sudah berusaha mencegah, sebab ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja.

"Ibu hati-hati ya. Jangan lupa nanti turun di Manggarai terus naik KRL jurusan Bogor/Depok di jalur enam. Oh iya, hape Ibu jangan dimatikan ya."





Kereta Commuterline yang membawa ibu sudah sampai di stasiun Jatinegara. Namun nasib baik belum menghampirinya. Belum satupun penumpang yang bermurah hati memberinya tempat duduk. Apakah kepedulian sudah menjadi barang langka di belantara ibukota?

Menjelang stasiun Pasar Minggu, KRL Commuterline yang kunaiki melambatkan lajunya. Ketika hendak menengok keluar, mataku beradu pandang dengan seorang penumpang. Sesosok perempuan seumuran dengan ibu tersenyum kepadaku. Entah sudah berapa lama ibu ini berdiri di depanku.

Di saat aku berharap ada penumpang peduli pada ibu, ternyata aku juga mengabaikan seorang ibu. Seketika kulepas earphone yang menyumpal telingaku. Aku langsung berdiri dan memberikan tempat dudukku padanya.

"Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu."

Saat aku menganggukkan kepala, telepon genggamku bergetar. Suara ibu terdengar di sela-sela derak kereta.

"Sekarang ibu sudah naik KRL tujuan Bogor. Alhamdulillah, ada yang memberi ibu tempat duduk, seorang lelaki seumuran kamu."

Ibu yang duduk di hadapanku kembali tersenyum. Entah mengapa tiba-tiba mataku terasa basah.

Depok - Cawang, 3 Februari 2015

Status Setiyo Bardono di Group KRL Mania

Read More..

Anak yang Bod*h

Cerita ini berhubungan adalah cerita tentang seorang anak yang dianggap "bodoh".

Tersebutlah seorang saudagar di Pakistan dengan kekayaan yang luar biasa. Dia adalah seorang pedagang sekaligus tuan tanah. Namun, orang itu memiliki seorang putra yang dianggapnya memiliki kecerdasan yang rendah. Sementara orang-orang menyebutnya anak bodoh.


Suatu hari, saudagar kaya tersebut menyuruh anaknyanya untuk membuat teh untuknya. Karena kebodohannya, anak tersebut membuat beberapa teh dan membawanya agar ayahnya dapat memilih salah satu. Sang ayah mengambil satu tegukan dari cangkir dan dengan terkejut merasakan bahwa teh itu sangat lezat. Ia meminta anaknya bercerita tentang bagaimana teh itu dibuat.





Anaknya mengatakan bahwa "Aku pergi ke halaman belakang untuk mencari kayu bakar. Tapi, karena hujan, semua kayu basah. Jadi, aku pergi ke tempat di mana Ayah menyimpan uang dan mengambil banyak uang tunai. Kemudian aku membakar semua uang kertas untuk membuat teh."

Teh yang awalnya terasa sangat enak, seketika itu juga terasa seperti racun.

Dari cerita ini kita umumnya akan berpikir bahwa anak ini benar-benar bodoh. Mengapa? Karena dia membakar uang hanya untuk membuat secangkir teh.

Kenyataannya, banyak orang yang lebih bodoh dari anak itu, yang membakar kehidupan abadi di akhirat hanya untuk hidup yang pendek (di dunia) ini.

Yang paling bijaksana dari semua itu adalah orang yang mengingat kematian lebih sering dan mempersiapkan untuk itu.

Read More..

Pandangi Dia Ketika Tidur

“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah.

Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan anak-anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu pikirnya. Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya. Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu, barulah ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur istrinya.

Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya dalam-dalam wajah Aminah, istrinya. Amin segera teringat perkataan almarhum kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, "Jika kamu sudah menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu. Karena kamupun juga tidak sama persis dengan maunya. Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda. Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi. Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, maka lihatlah ketika istrimu tidur.... "

“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.

“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.

Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.

Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya, semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi, tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandaginya menyeruakkan berbagai macam perasaan.

Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Dalam batin, dia bergumam,

“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit. Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.

Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku. Kau relakan waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu untuk mematuhiku.

Wahai istriku, dikala susah, kau setia mendampingiku. Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang, kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang menasehatiku.

Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku, kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa aku harus kecewa padamu?

Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?

Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan malaikat.

Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah swt. Segala puji hanya untuk Allah swt yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”

Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya. Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun terlelap.





Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah, istri Amin, terperanjat
“Astaghfirullaah, sudah jam dua?”

Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya. Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan. “Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek, sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya dalam hati.

Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.

“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku. Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.

“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin melindungiku.

“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.

“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu, dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku. Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah membahagiakanku.

“Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt. Aku akan patuh kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..”

Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota'ayun waj'alna lil muttaqiina imaamaa.

Share buat yang sudah berkeluarga, buat yang sayang istri or suami wajib share
Read More..