Anakku, Anak Panahku

“Assalamu’alaikum”, sapaku sore itu ketika pulang dan membuka pintu rumah.

“Bapaaaak.....” teriak Haikal, anak kami semata wayang, dengan terburu-buru tampak mau mengatakan sesuatu.

“Eiiitt... jawab dulu salam bapak Nak”, mengingatkan pentingnya menjawab salam.

“Wa’alaikum salam”, jawabnya dan meneruskan sesuatu yang ingin ia sampaikan, “Besok aku test akselerasi di sekolah.”

“Akselerasi itu apa?” Saya tersenyum sambil bertanya.

“Itu lho, sekolah cepet. Nanti kalau aku ikut kelas akselerasi, aku bisa naik kelas dua kali setahun”, jawabnya dengan antusias.

“Trus Haikal mau ikut akselerasi? Jawab saya sambil berusaha mengetahui maksud dan keinginannya.

“Sebenarnya mau, tapi capek”.

“Kenapa koq capek, kan belum tahu?”

“Habisnya nanti pulang sekolah setiap hari jam 4 sore. Aku kan belum mengerjakan pe-er, belajar, makan, mandi, main, belum lagi sholat”. Jawabnya lancar.

“Ya sudah, besok ikut saja test-nya, terserah Haikal, nanti mau ikut akselerasi atau tidak”. Jawab saya sambil menanamkan artinya sebuah pilihan dan konsekuensi yang akan dihadapinya nanti.

Saya memang tidak pernah memaksakan dirinya untuk belajar terlelu keras. Cukup mengerjakan pekerjaan rumah yang didapat di sekolah dan tempat les yang dia ikuti untuk belajar setiap harinya. Ada lima anak di kelasnya yang dipilih untuk mengikuti test program akselerasi di sekolah, dan dia salah satunya.

Pagi itu ia tampak biasa saja seperti hari-hari biasa, ia bangun dan membereskan tempat tidurnya lalu pergi mandi dan sarapan.
“Sudah siap test akselerasi nanti?”, tanya saya sambil keluar rumah untuk mengantarnya ke sekolah. Ia diam dan bersikap biasa saja. Kalau sudah begini biasanya sudah bisa ditebak kalau sebenarnya ia tidak bersemangat untuk test dan mengikuti kelas akselerasi tersebut.

Sore harinya seperti biasa ia menghampiri untuk mencium tangan saya yang sedang duduk melepas sepatu, “Bagaimana test-nya tadi?” Tanya saya sebelum dia mendahului bercerita.

“Biasa”, jawabnya pendek.

“Bisa mengerjakannya? Terus kapan pengumumannya?” kali ini saya sendiri yang tampak antusias menanggapi jawabannya.

“Yaaaaa... bisa lah...”, seperti biasa dia tidak pernah mengatakan tidak bisa setiap kali ulangan atau ujian kenaikan kelas.

“Pengumumannya dua pekan lagi”, dia melanjutkan jawabannya sambil berlalu.

Dua minggu berlalu ketika saya pulang kerja dia memberikan amplop tertutup, “Apa ini?” saya meminta penjelasannya.

“Pengumuman test akselerasi kemaren.” Jawabnya.





“Lulus?”tanya saya sambil membuka amplop yang ia berikan. Tertulis satu kata “LULUS” dan diikuti dengan syarat-syarat dan ketentuan yang harus disetujui seandainya ia berniat mengikuti program kelas akselerasi yang diadakan pihak sekolah.
Sekali lagi saya bertanya padanya, “Haikal mau ikut kelas akselerasi?” Tampak dia bimbang dan diam. “ya sudah, kalau nggak mau ikut juga ngak apa-apa”. Tampak mukanya sedikit cerah dan menyungging senyuman.

Anakku, engkau adalah amanah yang Allah berikan untuk kami. Tugas kami adalah membekalimu dengan ilmu dunia dan akhirat secara seimbang. Engkau sendiri memiliki keinginan dan ego yang juga harus kami perhatikan pertumbuhannya. Tidak boleh kami berlaku dzalim padamu dengan kedok ingin mendidik, membekalimu dan mengajarimu.

Engkau adalah jiwa yang tumbuh dengan segala “kelebihan” yang Allah berikan padamu. Tugas kami adalah memagarimu dari segala pengaruh buruk dari lingkungan dan budaya yang semakin ter-degradasi.

Tapi engkau tetaplah makhluk yang tumbuh, makhluk yang harus bisa mandiri dan memiliki identitas serta sikap yang jelas saat dia dewasa.

Anakku, engkau adalah anak panah kami. Maafkan bila kami tidak bisa mengarahkanmu pada sasaran yang tepat. Kami selalu berharap agar angin dan burung bisa membantumu menembus sasaran yang tepat di hadapanmu.

Bekasi, 10 Februari 2016
Read More..

Ikhlas Berkorban

Dalam perjalanan di luar negeri, saya pernah melihat seorang ibu sedang memungut makanan dari tong sampah. Saya pikir si ibu itu akan menelan makanannya, tapi ternyata saya salah. Makanan dari mulutnya itu langsung disuapkan ke dalam mulut anak balitanya. Suapan dari mulut ke mulut ini berlangsung di tengah hilir mudik orang ramai yang melirik peristiwa itu. Saya sempat terkejut. Karena saya sadar bahwa si Ibu menggunakan mulutnya untuk membersihkan makanan itu dari kotoran dan setelah bersih ia tidak menelannya tapi ia justru memberikannya kepada anak balitanya. Inilah pengorbanan yang fantastik. Sulit diterjemahkan dengan akal sehat. Tapi kehidupan ini memang ada karena berkat pengorbanan dalam senyap.

Dulu ketika saya tamat SLP dan diterima di SMU, karena tidak ada uang untuk membeli seragam sekolah, ibu saya, dari sore sampai keesokan paginya tanpa istirahat, dalam keadaan sakit batuk, menjahit celana panjang untuk saya. Celana itu bahannya dari celana yang dimiliki oleh ayah saya. Itu ia lakukan agar keesokan paginya saya bisa sekolah dengan seragam baru. Ketika saya berangkat sekolah, yang saya lihat tak ada nampak sedikitpun kelelahan dari ibu, kecuali rasa bahagianya karena melihat saya tersenyum untuk pertama kalinya menggunakan celana panjang ke sekolah. Ayah saya pun tersenyum walau celana terbaiknya harus dikorbankan untuk seragam sekolah saya. Mereka sendiri tidak tahu apakah selanjutnya saya bisa terus sekolah. Namun, kekuatan cintanya pada hari itu adalah titik awal yang membuat saya dewasa.

Ibu dan ayah kita adalah contoh nyata bagaimana Tuhan menunjukkan makna ikhlas memberi. Tanpa berharap apapun kecuali cinta kepada anak yang diamanahkan Tuhan kepadanya. Memberi karena Tuhan memang tak bisa disandingkan dengan harta apapun di dunia ini. Mengapa? Apa yang ialami oleh ibu, juga berlaku bagi kita sebagai bentuk apa yang disebut dengan detachment - buah dari iman dan kedahsyatan. Ketika ia berkorban, “Aku“ bukan lagi subject yang bertindak. Tak ada rasa sakit, sedih, cinta, harapan, ketakutan, tak ada aku. Semuanya adalah titah-Mu. Sejenis pengorbanan diri yang sublime.





Berkorban adalah peniadaan ganda. Meniadakan aku dan meniadakan apa yang bagian dari diriku. Apa yang luar biasa dari kisah orang yang berkorban itu? Apa yang luar biasa adalah bahwa kita jarang mengingat, bahwa secara DNA anak itu bukanlah milik Ibu. Ia milik sang Ayah. Tapi ia berbuat dengan pengorbanan untuk sesuatu yang bukan miliknya. Keikhlasan karena titah Illahi dan didesain untuk itu. Memang sebuah pengorbanan yang sublime.

Dalam pemberian, benda berpindah tangan tanpa berdasarkan kontrak. Tersirat dalam kontrak adalah pembatasan: dalam kepercayaan, dalam solidaritas, dalam waktu. Ketika kita ”memberi”, batas itu tak ada. Waktu dihayati sebagai sesuatu yang tak melingkar, malah lepas tak terhingga. ”Memberi” mengandung premis bahwa ada yang turah, apalagi waktu, dalam hidup. ”Memberi” tak mengenal langka. Inilah makna yang terdalam di balik keikhlasan memberi.

Hidup kini kian ribut oleh Langka dan manusia cemas. ”Memberi” makin jadi laku yang sulit. Yang berkuasa adalah perdagangan: proses tukar-menukar yang mengharapkan laba, dari mana orang menghimpun—dan menghimpun adalah cara menghadapi sebuah kelak yang masih akan dirundung Langka. Bahkan sindrom Langka begitu kuat hingga masuk ke dalam wilayah, di mana orang mencoba meniru jejak Ibrahim tapi tak bisa lagi memberi. Di sini pun cemas tak kalah akut, juga keserakahan yang terbit dari kecemasan itu.

Rahmat Tuhan tak dilihat lagi sebagai sesuatu yang memancar tak terhingga. Rahmat jadi sesuatu yang harus diperebutkan. Di proteksi dengan asuransi. Semua kebaikan dan derma di kalkulasi agar rahmat melimpah dan sorga didapat, dan hidup jadi melelahkan karena Tuhan di partanyakan...


Status Jeli Bandaro 26 Januari 2016
Read More..

Tips untuk Jomblowati yang Mencari Jodoh

Cari suami itu jangan muluk-muluk, biar seru menikmati pernikahan..
ngerasain ngontrak.. ngerasain roller coaster kehidupan sambil nangis, ketawa, nangis lagi, ketawa lagi.. sambil saling berpelukan menguatkan.. *indah tauuukkk itu!

Kalo ujug-ujug.. kalian mo cari suami yg muda, ganteng, sholeh, mapan, pinter..
Kalian butuh beberapa strategi dan kemungkinan...

Setidaknya ada 2 Fakta yg perlu kalian tau..

Pertama,
Kalian butuh energi dan mental yg cukup kuat untuk memasuki persaingan maha ketat.. karena pria SINGLE jenis ini, pastilah amat sangat langka, dan peminatnya bisa saja berjumlah ribuan.
Saingan kalian adalah wanita yg bisa jadi jauh lebih cantik, lebih muda, dan lebih oke

Kedua,
besar kemungkinan, pria jenis ini banyak.. tapi sudah jadi SUAMI ORANG.. Karena Pria-pria jenis ini, dibelakangnya sudah ada istri-istri hebat yg merawat dan membuat suaminya tampil mempesona.
Kalo kalian ga punya nyali untuk jadi perebut suami orang, atau belum siap ilmu dan iman untuk jadi perempuan lain di tengah keluarga bahagia orang lain..

ada 2 TIPS JITU buat kalian..





Pertama,
Berlapang hatilah menerima kedatangan pria single, sholeh, baik, meski sederhana asal tetap berpenghasilan (ga mesti berpenghasilan tetap), dan BERJUANGLAH bersamanya membangun keluarga bahagia, SAMARA.

Kedua,
BUANG SEMUA KASET DVD Drama KOREA puluhan episode yang selalu menayangkan Pria Kaya, ganteng, putih, imut yang jatuh cinta dengan wanita biasa-biasa dan miskin..!

Ridwan kamil (Walikota Bandung) 2016

Read More..

Merayakan Kekecewaan

Buatku, perayaan terhadap sebuah kekalahan terbaik dalam dunia sepakbola hanyalah milik suporter Irlandia. Stadion Gdansk, Polandia, menjadi saksi bagaimana kehebatan para suporter Irlandia menyublim kekecewaan mereka, akibat tim kesayangan yang diidamkan luluh-lantak dihantam Spanyol dengan skor tertinggal 4-0.

Pertandingan hanya menyisakan tujuh menit lagi, para Suporter Irlandia sepertinya sadar betul bahwa kekuatan memang tidak berimbang. Tim Spanyol yang berisikan materi bintang pemenang Piala Dunia bukan tandingan untuk para pemain nasional mereka. Disana, aku melihat secara utuh bagaimana sebuah kebanggaan dan dukungan diejawantahkan. Bukan hanya dukungan atas segala kemenangan, melainkan dukungan saat harus merasakan pahit dan tangis bersama.

Aku terkesiap tatkala tiba-tiba sebuah folk ballad berjudul The Fields of Athenry berkumandang dari seisi tribun. Bahkan ternyata bukan hanya aku, para suporter Spanyol, hingga komentator pun menghentikan keriuhan. Lagu bernuansa kepedihan itu terus berkumandang, sementara di tengah lapangan bola, para pemain Irlandia masih berjuang sekuat tenaga untuk setidaknya tidak menderita dengan gol tambahan. Sebuah perayaan terhadap kekecewaan yang dikemas dengan sangat elegan.

The Fields of Athenry, folk ballad ciptaan Pete St. John tahun 70-an, memang mengisahkan cerita pilu tentang seorang lelaki bernama Michael, yang terpaksa mencuri jagung demi memberi makan anak-anak dan istrinya akibat krisis pangan yang parah di Irlandia. Malangnya, Michael tertangkap dan dibuang ke Botany Bay, Australia. Kepada Marry, Sang Istri, Michael mengatakan bahwa tak ada yang membahagiakan hatinya, kecuali melihat istrinya itu membesarkan anak-anak mereka dengan penuh martabat.

Demikianlah lagu pilu ini dinyanyikan oleh para suporter Irlandia, sebagai bentuk kebersamaan, atas kegetiran yang menimpa, atas persamaan nasib yang pedih tak terperikan. Meski harus menanggung kekalahan, mereka menyatakan diri untuk saling memapah dalam kebersamaan.

Nun jauh dari Gdansk, aku juga melihat perayaan kekalahan yang sangat menyejukan, bahkan mengharukan, dari seorang lelaki berusia senja. Pak Maridi namanya. Sejatinya ia lelaki istimewa, lelaki satu kampung kami tak ada yang mampu menandinginya dalam soal kehadiran di Surau untuk mendirikan Sholat. Selalu lebih cepat dari yang lain, serta pulang selalu lebih lambat dari jamaah lainnya juga.





Namun memang, tingginya kuantitas dan kualitas ibadah tak serta merta seiring dengan perbaikan pada sisi ekonomi. Begitu juga dengan kondisi keuangan Pak Maridi. Mungkin itu pula ujian dari Allah swt untuknya. Di usia yang menginjak tujuh dasawarsa, hari-harinya diisi dengan bekerja serabutan. Kadang bekerja sebagai kuli bangunan, kadang hanya menjadi buruh di ladang warga untuk sekedar menyiangi rerumputan dan benalu. Kehidupan keluarganya memang tidak dapat dikatakan miris, namun tetap saja, taraf kehidupannya tak bisa dikatakan cukup.

"Kekalahan" Pak Maridi adalah saat Surau kami akan melakukan renovasi. Sejatinya ia berharap dapat dilibatkan dalam pembangunan itu, "minimal liber (pembantu tukang)-lah. Buat membantu biaya dapur," katanya padaku.

Namun apa mau dikata, keputusan rapat pembangunan mengatakan bahwa tukang dan pembantunya dibawa dari luar dengan status borongan. Jadi tidak satu pun yang terlibat dalam proses pembangunan ini dari warga kami, kecuali para Pengurus Surau sebagai pemantau.

Betapa kecewanya Pak Maridi, Surau yang setidaknya lima waktu dalam sehari ia kunjungi, justru para Pengurusnya tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk turut bekerja. Bahkan pernah satu kali aku bertanya kepada Ketua Pembangunan dan memintanya mempekerjakan Pak Maridi. "Terlalu sepuh, Kang. Kasihan," demikian jawabnya.

Ketika hasil usahaku kusampaikan kepada Pak Maridi, ia termangu. Tampak sekali raut kecewa dari wajahnya. Aku menangkap ada luka, sebongkah perasaan tidak puas menguasai dadanya. Ia menunduk bermuram durja.

Aku sedikit menerka-nerka apa yang akan dilakukannya beberapa hari ke depan. Bisa saja kekecewaan membawanya pindah Sholat ke Masjid lain, atau bahkan, bisa jadi ia memilih mundur dari Surau, mendirikan Sholat di rumahnya sendiri, dalam ruang kamarnya yang sepi.

Dugaanku ternyata meleset. Suatu malam menjelang pagi, ketika waktu baru menunjukan pukul 04.15. Kudengar lapat lantunan bacaan Al Qur'an diperdengarkan. Rasa kepenasaranku memuncak, bergegas aku menuju Surau, kujumpai Pak Maridi sedang bersila menghadap mushaf Al Qur'an yang diletakan di atas meja.

"Gasik (cepat datang), Pak," ucapku berbasa basi setelah ia mengakhiri bacaannya.

"Iyo, Kang. Semoga bisa bersyukur atas nikmat Allah swt," ungkapnya.

Aku termenung. Bukankah baru kemarin sore lelaki ini merasakan "luka" yang teramat dalam? Bukankah baru kemarin sore ia merasakan "kekalahan" yang mengecewakan? Ah, sepagi ini dia sudah hadir di Surau, berkata tentang syukur pula kepada Allah swt.

Luar biasa! Pak Maridi bagiku merupakan orang yang sangat cerdas dalam merayakan sebuah kekecewaan. Ia menyublim segala getir jiwanya ke dalam dzikir-dzikir panjang. Ia mengobati luka hatinya dalam balut lantunan Al Qur'an. Tak ada kalimat satir dari mulutnya, tak ada tindakan emosional yang ia tunjukan. Pak Maridi, lelaki kecil itu menjelma menjadi besar di hadapanku. Bukan besar dalam arti ragawi, melainkan besar dalam bentuk jiwa yang terang dan tenang.

Perlahan, kembali dalam ingatanku koor panjang The Fields of Athenry di Gdansk Stadium dari para suporter Irlandia. Disini, di tanahku, aku menemukan persamaannya. Sebuah persamaan tentang bagaimana cara merayakan kekecewaan.

Lapat tergurat dalam ingatanku sebait syair berbunyi, "Low lie the fields of athenry, where once we watched the small free birds fly, Our love was on the wing, We had dreams and songs to sing, It's so lonely round the fields of athenry.... ". Sebuah syair tentang pesan terakhir Michael kepada anak dan istrinya, syair pilu... The Fields of Athenry yang kini lekat dalam bayang Pak Maridi. (*)

**
TULISAN Kang Ewa
Petropolis, 30 Desember 2015

Read More..