Tips untuk Jomblowati yang Mencari Jodoh

Cari suami itu jangan muluk-muluk, biar seru menikmati pernikahan..
ngerasain ngontrak.. ngerasain roller coaster kehidupan sambil nangis, ketawa, nangis lagi, ketawa lagi.. sambil saling berpelukan menguatkan.. *indah tauuukkk itu!

Kalo ujug-ujug.. kalian mo cari suami yg muda, ganteng, sholeh, mapan, pinter..
Kalian butuh beberapa strategi dan kemungkinan...

Setidaknya ada 2 Fakta yg perlu kalian tau..

Pertama,
Kalian butuh energi dan mental yg cukup kuat untuk memasuki persaingan maha ketat.. karena pria SINGLE jenis ini, pastilah amat sangat langka, dan peminatnya bisa saja berjumlah ribuan.
Saingan kalian adalah wanita yg bisa jadi jauh lebih cantik, lebih muda, dan lebih oke

Kedua,
besar kemungkinan, pria jenis ini banyak.. tapi sudah jadi SUAMI ORANG.. Karena Pria-pria jenis ini, dibelakangnya sudah ada istri-istri hebat yg merawat dan membuat suaminya tampil mempesona.
Kalo kalian ga punya nyali untuk jadi perebut suami orang, atau belum siap ilmu dan iman untuk jadi perempuan lain di tengah keluarga bahagia orang lain..

ada 2 TIPS JITU buat kalian..





Pertama,
Berlapang hatilah menerima kedatangan pria single, sholeh, baik, meski sederhana asal tetap berpenghasilan (ga mesti berpenghasilan tetap), dan BERJUANGLAH bersamanya membangun keluarga bahagia, SAMARA.

Kedua,
BUANG SEMUA KASET DVD Drama KOREA puluhan episode yang selalu menayangkan Pria Kaya, ganteng, putih, imut yang jatuh cinta dengan wanita biasa-biasa dan miskin..!

Ridwan kamil (Walikota Bandung) 2016

Read More..

Merayakan Kekecewaan

Buatku, perayaan terhadap sebuah kekalahan terbaik dalam dunia sepakbola hanyalah milik suporter Irlandia. Stadion Gdansk, Polandia, menjadi saksi bagaimana kehebatan para suporter Irlandia menyublim kekecewaan mereka, akibat tim kesayangan yang diidamkan luluh-lantak dihantam Spanyol dengan skor tertinggal 4-0.

Pertandingan hanya menyisakan tujuh menit lagi, para Suporter Irlandia sepertinya sadar betul bahwa kekuatan memang tidak berimbang. Tim Spanyol yang berisikan materi bintang pemenang Piala Dunia bukan tandingan untuk para pemain nasional mereka. Disana, aku melihat secara utuh bagaimana sebuah kebanggaan dan dukungan diejawantahkan. Bukan hanya dukungan atas segala kemenangan, melainkan dukungan saat harus merasakan pahit dan tangis bersama.

Aku terkesiap tatkala tiba-tiba sebuah folk ballad berjudul The Fields of Athenry berkumandang dari seisi tribun. Bahkan ternyata bukan hanya aku, para suporter Spanyol, hingga komentator pun menghentikan keriuhan. Lagu bernuansa kepedihan itu terus berkumandang, sementara di tengah lapangan bola, para pemain Irlandia masih berjuang sekuat tenaga untuk setidaknya tidak menderita dengan gol tambahan. Sebuah perayaan terhadap kekecewaan yang dikemas dengan sangat elegan.

The Fields of Athenry, folk ballad ciptaan Pete St. John tahun 70-an, memang mengisahkan cerita pilu tentang seorang lelaki bernama Michael, yang terpaksa mencuri jagung demi memberi makan anak-anak dan istrinya akibat krisis pangan yang parah di Irlandia. Malangnya, Michael tertangkap dan dibuang ke Botany Bay, Australia. Kepada Marry, Sang Istri, Michael mengatakan bahwa tak ada yang membahagiakan hatinya, kecuali melihat istrinya itu membesarkan anak-anak mereka dengan penuh martabat.

Demikianlah lagu pilu ini dinyanyikan oleh para suporter Irlandia, sebagai bentuk kebersamaan, atas kegetiran yang menimpa, atas persamaan nasib yang pedih tak terperikan. Meski harus menanggung kekalahan, mereka menyatakan diri untuk saling memapah dalam kebersamaan.

Nun jauh dari Gdansk, aku juga melihat perayaan kekalahan yang sangat menyejukan, bahkan mengharukan, dari seorang lelaki berusia senja. Pak Maridi namanya. Sejatinya ia lelaki istimewa, lelaki satu kampung kami tak ada yang mampu menandinginya dalam soal kehadiran di Surau untuk mendirikan Sholat. Selalu lebih cepat dari yang lain, serta pulang selalu lebih lambat dari jamaah lainnya juga.





Namun memang, tingginya kuantitas dan kualitas ibadah tak serta merta seiring dengan perbaikan pada sisi ekonomi. Begitu juga dengan kondisi keuangan Pak Maridi. Mungkin itu pula ujian dari Allah swt untuknya. Di usia yang menginjak tujuh dasawarsa, hari-harinya diisi dengan bekerja serabutan. Kadang bekerja sebagai kuli bangunan, kadang hanya menjadi buruh di ladang warga untuk sekedar menyiangi rerumputan dan benalu. Kehidupan keluarganya memang tidak dapat dikatakan miris, namun tetap saja, taraf kehidupannya tak bisa dikatakan cukup.

"Kekalahan" Pak Maridi adalah saat Surau kami akan melakukan renovasi. Sejatinya ia berharap dapat dilibatkan dalam pembangunan itu, "minimal liber (pembantu tukang)-lah. Buat membantu biaya dapur," katanya padaku.

Namun apa mau dikata, keputusan rapat pembangunan mengatakan bahwa tukang dan pembantunya dibawa dari luar dengan status borongan. Jadi tidak satu pun yang terlibat dalam proses pembangunan ini dari warga kami, kecuali para Pengurus Surau sebagai pemantau.

Betapa kecewanya Pak Maridi, Surau yang setidaknya lima waktu dalam sehari ia kunjungi, justru para Pengurusnya tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk turut bekerja. Bahkan pernah satu kali aku bertanya kepada Ketua Pembangunan dan memintanya mempekerjakan Pak Maridi. "Terlalu sepuh, Kang. Kasihan," demikian jawabnya.

Ketika hasil usahaku kusampaikan kepada Pak Maridi, ia termangu. Tampak sekali raut kecewa dari wajahnya. Aku menangkap ada luka, sebongkah perasaan tidak puas menguasai dadanya. Ia menunduk bermuram durja.

Aku sedikit menerka-nerka apa yang akan dilakukannya beberapa hari ke depan. Bisa saja kekecewaan membawanya pindah Sholat ke Masjid lain, atau bahkan, bisa jadi ia memilih mundur dari Surau, mendirikan Sholat di rumahnya sendiri, dalam ruang kamarnya yang sepi.

Dugaanku ternyata meleset. Suatu malam menjelang pagi, ketika waktu baru menunjukan pukul 04.15. Kudengar lapat lantunan bacaan Al Qur'an diperdengarkan. Rasa kepenasaranku memuncak, bergegas aku menuju Surau, kujumpai Pak Maridi sedang bersila menghadap mushaf Al Qur'an yang diletakan di atas meja.

"Gasik (cepat datang), Pak," ucapku berbasa basi setelah ia mengakhiri bacaannya.

"Iyo, Kang. Semoga bisa bersyukur atas nikmat Allah swt," ungkapnya.

Aku termenung. Bukankah baru kemarin sore lelaki ini merasakan "luka" yang teramat dalam? Bukankah baru kemarin sore ia merasakan "kekalahan" yang mengecewakan? Ah, sepagi ini dia sudah hadir di Surau, berkata tentang syukur pula kepada Allah swt.

Luar biasa! Pak Maridi bagiku merupakan orang yang sangat cerdas dalam merayakan sebuah kekecewaan. Ia menyublim segala getir jiwanya ke dalam dzikir-dzikir panjang. Ia mengobati luka hatinya dalam balut lantunan Al Qur'an. Tak ada kalimat satir dari mulutnya, tak ada tindakan emosional yang ia tunjukan. Pak Maridi, lelaki kecil itu menjelma menjadi besar di hadapanku. Bukan besar dalam arti ragawi, melainkan besar dalam bentuk jiwa yang terang dan tenang.

Perlahan, kembali dalam ingatanku koor panjang The Fields of Athenry di Gdansk Stadium dari para suporter Irlandia. Disini, di tanahku, aku menemukan persamaannya. Sebuah persamaan tentang bagaimana cara merayakan kekecewaan.

Lapat tergurat dalam ingatanku sebait syair berbunyi, "Low lie the fields of athenry, where once we watched the small free birds fly, Our love was on the wing, We had dreams and songs to sing, It's so lonely round the fields of athenry.... ". Sebuah syair tentang pesan terakhir Michael kepada anak dan istrinya, syair pilu... The Fields of Athenry yang kini lekat dalam bayang Pak Maridi. (*)

**
TULISAN Kang Ewa
Petropolis, 30 Desember 2015

Read More..